Andalan

Peringatan Gebyar 10 Muharam di SDN Labuhan 1: Berkiprah Edukasi di Pesisir Selatan Kabupaten Sampang

Gebyar 10 Muharram

Pesisir Selatan, Kabupaten Sampang – Jumat, 28 Juli 2023

Semarak Tahun Ajaran Baru bersama Kurikulum Merdeka

Andalan

Petualangan Anak Pesisir #3

Setelah memasuki gang kecil di dekat sungai yang deras mengalir di tengah kota itu. Mereka mulai melanjutkan perjalanan dan ingin mencari sesuatu yang berbeda di kota ini.

Di balik sebuah pagar besi yang berkarat, mereka memandang kagum seorang wanita paruh baya, ia sedang memilih dedaunan kering yang terjatuh dari pohon besar di tengah halaman rumah megah itu. Bahkan menunggu helai daun kering yang terjatuh yng kemudian ia pungut dan dengan senyum tipisnya ia masukkan ke dalam sebuah kantong plastik di tangan kirinya.

“Apa yang ia lakukan Sur?” bisik lea pada si Hitam di sebelahnya.

“Ada yang aneh ya? kamu gak lihat ia sedang menunggu daun itu jatuh?” timpal Sura dengan raut muka juga bertanya-tanya.

Tidak ada keanehan yang terjadi di halaman itu sampai akhirnya terdengar deru mesin yang mengagetkan mereka.

“Brumm…brumm…brumm…. tet….teettttt, minggir anak-anak aneh!” teriak lelaki berkumis tebal dan berkacamata tebal dari balik kemudi mobil tua itu.

Seketika itu mereka minggir dan bergeser ke tepi gerbang.

“Dasar pemulung, selalu saja mengganggu lalu lintas kota, mengapa mereka tidak bosan hidup di kota besar? seharusnya dinas sosial segera bertindak agar anak-anak seperti mereka tak lagi berkeliaran dan meresahkan. Ada-ada saja” Si pemilik mobil itu menggerutu seraya memarkir mobil tuanya di bawah pohon besar di halaman itu.

bersambung…

Andalan

Nama dalam Doa

foto hanya pemanis buatan ya genks

Dari kecil kehidupan Ghea tak pernah jauh dari ketenangan dan keindahan desa di pegunungan. Suasana gunung yang sejuk dan berkabut sudah mendarah daging dalam sendi kehidupannya, naik turun bukit, menyeberang jurang dan bertualang bersama kawan-kawan adalah kegiatan tak terelakkan dari hidupnya. 

Hingga suatu hari Ghea bertemu dengan pengendara motor berwarna biru itu. Iya… di jalan yang licin bekas guyuran hujan lebat itu pengendara motor biru mulai mengikutinya. Semakin lama motor itu semakin mendekat, tak kehilangan akal Ghea segera berbelok ke jalan tikus yang biasa dia lewati bersama sahabatnya. 

Betapa kagetnya Ghea ketika dia keluar dari gang. Tak disangka senyum manis itu tersungging di atas motor biru yang sedari tadi Ghea hindari. Allah… Kata Ghea dalam hati, apa yang diinginkan orang ini coba? Tanpa melepas helm teropongnya pemuda itu mendahului motor Ghea yang sedang melaju. Anehnya, pemuda itu ternyata memasuki area perkampungan yang sama dengan Ghea. Dag deg dug hati Ghea memperhatikan sosok misterius di depannya itu. 

“Tin…tin…Assalamualaikum? “ bunyi klakson dan suara itu keluar dari sosok yang dari tadi bertengger di atas motor. Tepat di depan rumah Ghea, ibu Ghea keluar dan mempersilahkan pemuda tadi masuk ke rumah. Semakin geregetan dan bingung hati Ghea, kok ibunya sudah Mengenalnya? 

“Ghea, ini Mas Ilyas adik dari teman ibu yang baru datang dari Surabaya. Dia kesini karena ibu minta tolong untuk memberikan bingkisan ke mbak yu nya, itu lo Bu Ivan yang kapan hari ibu minta anter kamu kesana” ibu Ghea menunjuk ke benda-benda yang nampaknya sudah disiapkan ibu sebelumnya. 

Dengan sedikit membungkukkan badan, Ghea hanya mengambil tangan ibunya untuk dicium kemudian langsung masuk ke ruang dalam tanpa sedikitpun menghiraukan Ilyas. 

“Maafkan Ghea ya Mas Ilyas, dia capek mungkin karena kalau sampai sore gini, berarti setelah kuliah masih ngajar privat anak dosennya” ibu menjelaskan dengan sangat hati-hati takut Ilyas tidak nyaman dengan sikap Ghea.

“Ah, tidak apa ibu, saya paham” Ilyas nampak sedikit kecewa karena tidak bisa dengan jelas melihat wajah Ghea, Ilyas memang penasaran dengan gadis yang selalu diceritakan kakaknya. 

Menurut cerita orang-orang, Ghea adalah gadis desa yang tidak kalah cerdas dengan anak para pegawai yang ada di kampungnya kala itu. Sopan kepada orang tua, pekerja keras, dan sangat taat pada Agamanya. Pokoknya menurut kakaknya Ilyas, Ghea adalah gadis yang baik, yang tidak salah jika Ilyas mendekatinya untuk dijadikan seorang teman hidup.

Namun, ada hal lain yang masih perlu Ilyas pikirkan. Sepertinya tidak mungkin gadis seperti itu mau melirik sosok dirinya yang berandalan dan selalu dianggap tidak dewasa oleh orang-orang di sekitarnya. Apalagi setelah tau sikap Ghea yang seolah sama sekali tak menghiraukannya.

Setelah sampai di rumah Bu Ivan, Ilyas memarkir motornya dengan sembarangan. Ilyas langsung menghempaskan diri di kursi depan, Bu Ivan memperhatikannya dan tersenyum. 

“Wealah kok ya susah ya mau dapat gadis baik-baik, belum sempat lihat mukanya. Eeh sudah main nyelonong aja masuk ke dalam. Gak tau dia kalau semaleman gak bisa tidur gara-gara milih kemeja dan nyuci sepatu biar kelihatan keren. Ampun dah tuh cewek” gerutu Ilyas dengan suara agak keras yang sengaja biar Bu Ivan mendengarnya.

“Yah… baru datang sekali kesana aja udah ngomel-ngomel kamu Yas, coba besok kamu ajak Arik atau Adi kesana. Mereka lebih telaten dan tekun kalau masalah begituan. Coba sekali-kali jangan sombong dan merasa bisa melakukan semua dengan sempurna” Bu Ivan balik memberikan tausiyah malamnya.

“Embuhlah, mungkin kalau bukan preman kayak aku gini, dia gak secuek itu. Coba besok ku ajak Arik kesana” Ilyas berfikir sambil menyatukan dua ujung jarinya di depan matanya.

“Nah, itu baru namanya usaha. Bu Ana sudah nelpon tadi, jadi aku sudah tau ceritanya. Hahahahaha … “ sambung Bu Ivan memberi semangat kepada adik tersayangnya itu.

***Hari kedua ke rumah Ghea

Sore itu jalanan sangat indah seolah paham akan cuaca hati Ilyas yang sedang galau, jalanan yang diapit bunga tabebuya warna kuning itu nampak romantis seperti di scene film jepang. Sengaja Ilyas melirihkan laju motor biru kesayangannya itu, seolah ada hal yang ingin dinikmatinya sore itu. 

“Tin… tin… tin… minggir mas” teriak pengendara motor berkerudung dan berkemeja biru dongker itu. Seraya melaju dengan kencangnya melewati Ilyas. 

Sontak kemeja dan celana jeans yang sudah dia cuci dengan bersih dan di setrika dengan wangi itu kotor dan basah terciprat air hujan. Dengan 

Hati kesal Ilyas yang memang punya dasar temperamental itu segera mengejar gadis dongker dan ingin memakinya. Sempat berkejar-kejaran bak pembalap motor, mereka akhirnya berhenti di sebuah belokan pertigaan patung singa. 

Gadis dongker melihat ke arah Ilyas, dan Ilyas kaget ketika melihat wajah yang sepertinya pernah dia lihat kemarin. Ah, tidak mungkin dia adalah Ghea pikir Ilyas dalam hati. Kalau memang benar dia adalah Ghea, hancurlah harapan Ilyas, karena kesan yang dia bangun selama ini terbongkar dengan kelakuannya sendiri yang mengejar gadis dongker ini. 

**Rumah Ghea

Di depan rumah Ghea sore itu sudah terparkir sebuah sepeda motor biru putih milik keluarga Ghea. Ibu Ghea sepertinya sudah menunggu Ilyas dari tadi. Ilyas memarkir motor birunya dengan hati-hati di sebelah motor biru putih itu, entah karena perasaannya yang tidak karuan sore itu atau  karena dia grogi. Tak disangka Ilyas tidak sempurna menurunkan jagrak sepeda birunya dan alhasil setelah berjalan beberapa langkah ketika Ilyas hendak bersalaman dengan Bu Ana, “GUBRAKK….” dua sepeda motor biru itu sudah tergeletak manis di halaman. 

“Astaghfirullahaladzim…” teriak Bu Ana seraya berdiri melihat apa yang terjadi. Seisi rumah pun segera semburat keluar rumah karena mendengar insiden sore itu. Tidak ketinggalan tetangga Ghea yang notabene orang-orang yang selalu ingin tahu apa yang terjadi di keluarga Ghea. Mereka heboh, bukan menolong Ilyas yang dengan sikap tergopoh dan bingung membagunkan kembali kedua motor biru itu. Tetapi mereka sibuk menanyakan siapa gerangan pemuda asing yang selama ini tak pernah mereka lihat di perkampungannya.

Sontak para tetangga mengira-ngira apa yang terjadi sebelum meninggalkan TKP. Mereka memperhatikan celana jeans basah dan kotor akibat terciprat genangan air hujan tadi, sepatu yang kotor dan muka kebingungan Ilyas sore itu. 

“Sudah mas, biarkan saja, ayo monggo masuk dulu” kata ibu pada Ilyas yang sudah merah mirip kepiting rebus itu.

“Iya bu, terimakasih bu, mohon maaf bu sebelumnya saya benar-benar tak sengaja” Ilyas mencoba menjelaskan.

“Walah… sudah mas, enggak apa-apa kok” kata ibu seraya mendahului Ilyas masuk ke dalam.

Setelah duduk di kursi tamu, Ilyas merasa sangat sial sore ini. Dia menggerutu sendiri dalam hati sambil menyatukan ujung jari telunjuknya seperti biasa. 

Tak lama kemudian keluarlah ibu sambil membawa teh hangat, “Minum dulu Mas, biar sedikit tenang” kata ibu sembari melihat wajah bingung Ilyas. 

“Terimakasih bu, mohon maaf saya sudah merepotkan sekali sore ini” tuturnya.

“Iya mas sudah saya bilang tidak apa-apa kan? Tenang saja nanti kalau sudah terbiasa Mas Ilyas akan tahu sendiri keadaan disini” ibu menenangkan Ilyas seolah berharap Ilyas akan terus menjadi bagian dari keluarganya. 

Setelah agak lama Ilyas mendengarkan ceramah ibu, dia mulai bertanya-tanya dalam hati. Kemana Ghea dan saudara-saudaranya, dari tadi tidak melihat lagi keluar setelah kejadian motor roboh tadi. Apa mereka sudah malas atau bagaimana ya? Hati Ilyas semakin tidak enak saja. 

“Ghea, tolong ini kamu bawa ke dalam mejanya mau ibu bersihkan” ibu sedikit mengeraskan suaranya memanggil Ghea.  

“Mbak Ghea keluar bu, ke rumah mbak Iis lewat pintu belakang ada yang penting mau diambil katanya tadi” Rara adik Ghea segera menghampiri ibu.

“loh… gimana Ghea ini, ya sudah gak apa-apa tolong kamu temenin mas Ilyas dulu ya ibu mau ke dapur” pinta ibu.

Ibu pergi ke dapur dan Rara berbincang dengan Ilyas di ruang tamu itu, mereka asyik membicarakan Ghea yang memang salah satu anggota keluarga paling aneh dan tertutup itu. Ghea memang agak sedikit judes dan pedas jika berkata-kata, aslinya bukan judes tetapi hanya sedikit tegas dan tidak suka banyak bergurau. Hidup Ghea terlalu serius menurut Rara, Ghea terlalu kutu buku, sedikit serius menyikapi kehidupan negara, serta paling senang belajar agama. 

Sedangkan Ilyas yang dianggap berandalan dan kurang dewasa ini, aiih… tidak mungkin mereka bersatu. Bagaikan air dan minyak yang gak bisa disatukan. Banyak hal yang diceritakan Rara pada Ilyas sore itu, padahal Rara juga belum terlalu mengenal Ilyas tetapi dia sudah seperti mengenal Ilyas. Rara merasa Ilyas adalah orang baik-baik walaupun agak sedikit kelihatan slengean.

Sampai akhirnya sore pada hari kedua itu Ilyas gagal lagi bertemu dengan Ghea, padahal dia sudah penasaran sekali sama gadis itu.

Sampai di rumah Bu Ivan Ilyas tampak lebih kucel dari biasanya, wajahnya berkerut-kerut, rambutnya acak-acakan dan yang pasti kemeja yang tadinya rapi dan licin sudah asimetris dan serabutan.  Hal yang wajar ketika dia merasa sama sekali tidak dikehendaki oleh seseorang. Ghea, yah.. Ghea nama yang beberapa waktu belakangan sering disebut saat sendiri. 

Sampai beberapa hari berlalu, minggu berganti senin keberapa kalinya, dan bahkan musim hujan hampir menyelesaikan misinya di ujung tahun ini. Namun, Ilyas tak kunjung bertemu muka dengan Ghea, setiap Ilyas datang baik-baik ke rumahnya, Ghea tampak selalu menghindar dan sok sibuk. Kadang alasan sedang mandi dan hampir sampai maghrib gak keluar kamar mandi, kadang alasan beli mie ayam ke desa sebelah yang ujung-ujungnya Ilyas ngobrol sama Ibunya, adiknya, bahkan Ilyas lebih akrab dengan nenek Ghea yang gaul itu. Sungguh perjuangan untuk hal baik yang dilakukan Ilyas, meskipun kadang dia merasa rendah diri dan mencoba mundur alon-alon. 

Namun karena usia dan keinginan ingin damai segera hadir, Ilyas tak pernah menyerah ikhtiar dan pemuda slengekan itu tiba-tiba berubah lebih sering sholat malam. Ya, perubahan yang demikian ini dia alami tanpa sadar. Dia lebih khusyuk meminta petunjuk, dia menceritakan hal-hal yang gak mungkin dia ungkapkan kepada sesama makhluk. Hanya Dia yang berhak memberikan petunjuk dan solusi atas niat baiknya kali ini. Ilyas belum pernah menginginkan sesuatu seniat ini, sampai dia rela tidak tidur dan melewatkan pertandingan bola dini harinya demi menyebut sebuah nama  yang sangat ingin ditemui.

Andalan

Sepatu Usang

Blega, Jawa Timur

Sepatu tua penuh debu itu kembali berjalan menapaki panasnya jalanan siang ini. Tak peduli berapa kali lagi langkah, yang harus dia emban hari ini. Dia tetap melaksanakan tugasnya dengan baik. Sebagai sepasang sepatu yang selalu disimpan di lemari, rasa bangga yang luar biasa kini sedang bergemuruh di dadanya, karena baru kali ini setelah hampir 365 hari dia tergeletak di peti.

Inilah dia, si sepatu usang yang mencoba kembali peruntungannya di jalanan. Dia telah jengah dengan suasana hening dalam ruang yang di sebut lemari itu. walau di sana dia tak sendiri, namun bising suara kendaraan di jalanan, masih sangat dia rindukan. Dia kini kembali hadir di jalan terjal penuh genangan air dan lumpur itu, ditambah terik sang surya yang tak seperti biasa. Kedua buah sepatu pun melenggang melintasi hari.

Di balik segala usaha dan perjuangan yang ia lalui selama ini. Tampak beberapa gurat halus di keningnya, pertanda bahwa ia tak lagi muda. Napas yang panjang selama ini ia punya, sudah mulai terputus-putus. Seperti malam itu, ia terengah ketika melalui sebuah tanjakan yang lama ia rindukan. Ia lupa bahwa pohon-pohon yang mulai meranggas itu butuh waktu untuk bermeditasi. Seperti ia yang selama ini terlena akan kenyamanan diri, berada dalam lemari.

Ibarat kisah sepatu usang itu, manusia pun kadang sering lupa. Lupa akan tugas utamanya, lupa akan kewajibannya, lupa akan tujuan akhir yang sesungguhnya. Hanya penyesalan demi penyesalan yang bisa ia lakukan, meratapi diri yang kini di ujung senja. Semoga yang Mahakuasa melimpahkan keberkahan dan ampunan. Agar kelak ia masuk dalam golongan manusia yang mendapatkan manisnya Iman.

Penggir Sereng, 1 Mei 2021

Andalan

Apresiasi adalah Motivasi

Labuhan, 02 Oktober 2020

Menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi kami, khususnya keluarga besar SDN Labuhan 1 menjadi satu-satunya SD di Kabupaten Sampang yang berhasil lolos menjadi sekolah Adiwiyata ke tingkat provinsi dengan Verifikasi Video Conference. Menurut Dinas Ligkungan Hidup, tidak tanpa alasan mengapa kami yang terpilih menjadi Satu-satunya SD yang ditunjuk sebagai perwakilan Verifikasi via conference.

Setelah mengalami seleksi administrasi, semua administrasi yang kami kirimkan merupakan salah satu yang terbaik dari delapan sekolah yang telah diusulkan DLH termasuk SMPN 2 Sampang yang juga mewakili.  Oleh karena itulah SD pesisir yang jauh dari kota ini dapat terbang ke tingakat provinsi. Semua butuh proses yang sangat panjang dan berjenjang, tidak instan dan tetiba kami berhasil begitu saja.

Adiwiyata ini kami mulai rintis sejak tahun 2018, ketika itu Dinas Lingkungan Hidup yang berkunjung ke sekolah kami untuk melakukan sosialisasi. Tentu saja kami sangat antusias menanggapi hal tersebut, lebih-lebih memang kami sangat peduli dengan lingkungans sekitar. Tujuan utama kami berAdiwiyata adalah untuk perubahan budaya dan tingkah laku warga sekolah terhadap lingkungan sekitar.

Awalnya kami memang tidak begitu paham, namun dengan bimbingan dan dukungan dari Tim Adiwiyata Kabupaten yang Alhamdulillah selalu baik dan penuh semangat, akhirnya pada tahun itu juga kami mendapat pengakuan sebagai sekolah Adiwiyata tingkat Kabupaten. Dan menjadi satu-satunya SD di kecamatan kami yang sudah berAdiwiyata.

Sebagai tindak lanjut dari keberhasilan kami, tentu saja kami tidak tinggal diam. Usaha dan kerja jeras secara kompak dari seluruh jaringan di sekitar sekolah terus kami tingkatkan. Baik kerjasama dengan orangtua, komite, karang taruna, perangkata desa, balai penyuluhan pertanian, dinas kesehatan, dan juga beberapa tokoh masyarakat yang selalu mendukung kami.

Usaha dan kerja keras yang kami lakukan selama proses persiapan menuju tahap yang lebih tinggi kali ini sangat luar biasa. Kami membutuhkan waktu, tenaga, pikiran, dan materi yang lebih lagi. Dari sisi waktu, tentu saja persiapan ini sangat minim sekali, karena terputus pandemic jadi beberapa bulan kami menghilang dari peradaban segala tentang Adiwiyata untuk menjaga diri dan melndungi keluarga.

Dari segi tenaga, kami mempunyai banyak tenaga guru dan tenaga kependidikan yang luar biasa kompak dan sangat kekeluargaan. Kami adalah satu dan kami adalah keluarga, suasana yang tak seperti di perkantoran namun lebih familiar lebih hangat karena kami adalah saudara lebih dari sekedar teman kerja. Mereka mengorbankan beberapa waktu dan tenaga demi kesuksesan sekolah. Pikiran kamipun dikuras habis-habisan ketika kami mendapat surat keputusan untuk membuka sekolah dan melakukan kegiatan tatap muka. Sebagai SD yang ditunjuk sebagai pilot proyek amka kami usahakan agar semua yang kami lakukan pada hari pertama masuk sekolah adalah hal-hal yag terbaik.

Semua yang sudah kami lakukan bukan tanpa rintangan, beberapa dari kami ada yang sempat tumbang dan mengalami sakit. Namun dengan rasa kekeluargaan kami saling memberikan dorongan semangat. Setelah uji coba tatap muka berlangsung selama dua minggu akhirnya kami mendapatkan kesempatan untuk ikut beradu dalam ajang tigkat provinsi. Persiapan yang huh…. Luar biasa rempong, membuat kami semakin gigih dan yakin bahwa usaha tak kan pernah menghianati hasil.

Akhirnya pada tanggal 28 September 2020 kami melakukan verifikasi lapangan Adiwiyata Tingkat Provinsi via zoom meeting. Menjadi yang pertama untuk tingkat SD di Kabupaten Sampang ketika itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi kami. Dan ditambah rasa deg-deg an yang sudah seperti menghadapi ujian akhir kuliah saja. Dengan penuh semangat kami semua tanpa seorangpun yang tak ikut berperan dalam kegiatan itu, seluruh tim dan warga sekolah sangat kompak dan saling support. Akhirnya kegiatan berlangsung lancar dan sukses, tinggal menunggu hasil selanjutnya.

Alhamdulillah semua yang sudah kami usahakan selesai, namun masih ada satu event tngkat provinsi lagi yang harus kami lewati yaitu ajang bergengsi Kompetisi Sains Nasional bidang studi IPA, bukan tiba-tiba kami dapat meloloskan dua anak didik kami untuk melaju di tingkat provinsi namun juga penuh erjuangan. Tulisan tentang KSN saya lanjut di tulisan berikutnya ya,,, karena Adzan subuh sudah jelas terngiang di telinga.

Andalan

Lahirnya Kecewa

Bangkalan, 01 Oktober 2020

Hembusan angin mulai menyusupi dinginnya malam di tepi pantai  ini. Saya duduk merenungi beberapa kejadian yang telah terlewati, banyak kejadian kilat yang seolah tak sempat saya ingat. Terus terang saja saya menulis ini hanya untuk meredam sebuah bongkah panas yang kini masih sedikit memercikkan bara dalam hati. Mungkin karena saya belum belajar ilmu ikhlas dengan benar, bahkan masih jauh dari kata belajar ikhlas. Sebuah kata yang mudah diucapkan namun sangat sulit diterapkan.

Ada banyak kejadian yang sangat fluktuatif, naik turun dengan cepat secepat roller coaster di dunia fantasi. Membuat jantung berdegup lebih cepat dan tiba-tiba terhenti. Kejutan yang Alhamdulillah menjadi sebuah evaluasi diri, kejadian yang sangat perlu diperhatikan dan patut untuk direvisi.

Setelah beberapa hari mengikuti sebuah kegiatan di pusat kota, saya dengan tetap berkeyakinan kuat bahwa tak ada yang sia-sia dalam hal kebaikan. Jadi saya tetap bersemangat berdinas walaupun jarak dan waktu harus saya lewati dengan penuh perjuangan. Apapun alasannya, kewajiban adalah hal yang harus saya tunaikan dengan tuntas dan maksimal, dimana saya yakin pasti suatu saat walau tidak sekarang saya pasti mendapatkan hak saya.

Dalam kehidupan manusia, tentu saja saya paham adakalanya kehidupan kita sesuai dengan keinginan dan harapan, namun tak boleh pula kita lupa bahwa semua kejadian yang kita alami adalah suratan takdir yang juga wajib kita percaya dan terima dengan legowo jika yang terjadi jauh dari harapan. Karena tidak semua harapan akan terwujud nyata, maka kita sebagai hamba tak boleh menggantungkan harapan kepada sesama makhluk. Berharaplah hanya kepada Allah Azza Wajalla, Tuhan semesta alam, Raja di Raja, Maha dari Segala Maha.

Sempat saya mengamati postingan sebuah akun Instagram seorang ulama, dalam video tersebut memaparkan bahwa tak perlulah kita selalu ingin terlihat baik di mata orang lain, jadilah orang yang baik dan jangan jadi orang yang ingin terlihat baik. Benar sekali, kalimat tersebut sangat sejuk ke hati, ketika kita hanya ingin terlihat baik, sejatinya kita memang bukan orang baik. Namun ketika kita ingin menjadi orang baik, itulah kebaikan yang sesungguhnya. Tak perlu dibuat-buat, semua mengalir apa adanya. Bukan ada apanya.

Mengapa demikian? Ya karena tidak semua yang kita lakukan, dapat diterima baik oleh orang lain. Baik menurut kita, belum tentu baik menurut mereka. Namun ketika semua kita serahkan kepada NYA? Semua akan terasa lebih nyaman. Jika Dia sudah berkata baik, maka akan baiklah semua yang terjadi pada diri kita. Pada mulanya semua yang akan saya tulis adalah sebuah ungkapan rasa kecewa. Mengapa saya bisa merasakan kecewa? Karena saya terlalu banyak berharap pada manusia. Maka hanya berharaplah pada Pencipta kita, jangan pernah kita gantungkan harapan kepada selainNYA. Lebih-lebih hanya kepada sesama makhluk ciptaannya.

Melalui sebuah tulisan, mungkin hati saya akan lebih plong dan akan tercatat sebagai sejarah bagi saya, ketika saya sudah bermutasi dari pradaban pesisir, hal-hal kecil seperti ini yang akan membuat saya ingat bahwa hidup memang penuh perjuangan yang tak henti-henti.

Next akan saya lanjutkan ke tulisan berikutnya, karena sayup sudah terdengar suara Tarhim dari surau di ujung desa. Pertanda saya harus segera bersiap untuk membelah hutan dan menyusuri jalan menuju tempat berdinas lagi subuh ini.

Andalan

Filosofi Djamoe_ku

Foto hanya sebagai penguat saja wkwkwk

Sahabat sekalian, pernahkah di antara sahabat yang minum Jamu? Jamu tradisional tentunya. Semisal Jamu Kunyit Asam, Jamu Beras Kencur, ataupun Jamu Jadam. Pasti yang sering minum jamu pada mengangguk-anggukan kepalanya deh.

Siapa sih sahabat yang tidak ingin badannya sehat? Hmm, pertanyaan yang lebih ekstrem lagi deh, siapa sih sahabat yang tidak ingin badannya singset dan langsing? Ups, pertanyaan ini bukan ditujukan khusus emak-emak ya, bahkan bapak-bapak zaman now ini sekarang sudah banyak terpapar efek rebahan. Salah satu indikasinya adalah ketika mereka sudah tak bisa lagi melihat jari-jari kaki saat berdiri tegak. Di sanalah timbul berbagai pertanyaan dari nyonya.

Namun jangan resah sahabat, saya punya sesuatu yang semoga bermanfaat untuk sahabat sekalian. Bacanya santai saja, sambil minum kopi atau teh hangat juga oke-oke saja.

Berawal dari kejadian mengenaskan sekitar beberapa bulan yang lalu, saya mengalami pendarahan hebat ketika usia kandungan saya sekitar 3 bulanan. Otomatis setelah mengalami hal tersebut saya harus ekstra menjaga diri donk. Setelah beberapa hari mengkonsumsi obat dari dokter untuk penyembuhan, saya mendapat sesuatu yang langka dalam hidup saya. Apaan tuh?

Rahasia super yang selama ini saya cari-cari dari Ibu Mertua akhirnya berada di genggaman tangan saya sekarang. Hihihi penasaran ya?

Begini sahabat, Alhamdulillah Allah mentakdirkan saya menjadi seorang menantu dari keluarga yang heterogen. Ibu mertua saya asli keturunan arab dan bapak mertua saya asli orang Madura. Perlu diketahui menjadi bagian dari keluarga besar yang merupakan campuran ini sangat luar biasa. Yup, kaya akan budaya, bahasa, kuliner, dan tak kalah ketinggalan adalah ramuan-ramuan tradisional yang sudah turun-temurun terbukti kualitasnya.

Eits, jangan girang dulu sahabat. Kali ini saya tidak akan membocorkan rahasia keluarga terutama rahasia ramuan Madura loh ya. Takut dipecat jadi mantu saya mah…

Belajar dari Jamu tradisional, empon-empon dan rempah-rempah sudah menjadi hal lumrah yang dijadikan bahan dasar pembuatannya. Kunyit, jahe, lengkuas, serai, jeruk nipis, dan yang lainnya merupakan bahan alami yang banyak manfaatnya bagi kesehatan tubuh.

Proses pembuatan jamu yang susah-susah gampang dan perlu kesabaran dan ketelatenan menggugah hati dan jemari saya untuk kembali menari di atas papan ketik kesayangan. Bagaimana tidak, proses pembuatan jamu yang kadang menghabiskan waktu hampir setengah hari membuat saya berpikir. Berpikir bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang enak, baik, bermanfaat sekaligus menguntungkan tidaklah mudah. Semua harus dilalui dengan berproses, tentunya proses yang tidak mudah.

Pagi-pagi sekali saya dan suami harus pergi ke kios langganan untuk membeli bahan-bahan. Awalnya saya hanya memakai bhan yang ada di rumah saja, hasil TOGA yang sudah ada di sebelah rumah, namun ketika produksi Jamu kami semakin banyak permintaan maka terpaksa kami harus membeli kiloan di kios.

Beberapa kilo empon-empon dan rempah sudah di tangan, kami segera pulang untuk segera memprosesnya.

  1. Kotor penuh tanah dan sama sekali gak menarik, itulah pandangan pertama yang dilihat anak saya yang paling kecil ketika melihan bahan-bahan yang akan saya cuci. Begitulah sebuah masalah dalam hidup, ketika pertama kali kita menemuinya, terlihat sangat tidak mengenakkan. Jangankan untuk dinikmati, dilihat saja sudah malas untuk memikirkannya. Namun, ketika kita mulai mencuci bahan-bahan tadi, dan menaruhnya dalam wadah yang bersih, tampaklah wujud asli empon-empon tersebut. Masalah yang pertama kali datang pada hidup kita terlihat sangat tidak enak, namun ketika kita sanggup menyaringnya dan membersihka hati untuk lebih jernih lagi, maka masalah akan tampak sebagai ujian.
  2. Setelah saya tempatkan dalam wadah, empon-empon segera kami bersihkan kulitnya, kami kupas kulit kunyit dan jahe sampai tercium bau khas kunyit dan jahe, membekas tangan saya berwarna kuning khas warna kunyit. Begitulah masalah kita, ketika mulai mengupas apa sebenarnya yang terjadi, apa sebenarnya yang menjadi awal mula mencutnya masalah. Kita akan digiring untuk berpikir logis sampai permasalahan sebenarnya terlihat dan membekas dalam ingatan tentang hal-hal yang sudah kita lakukan.
  3. Kunyit, jahe dan teman-temannya sudah terkuliti semua dan tiba waktunya kami mencucinya kembali agar tidak ada lagi bekas-bekas kotoran yang melekat padanya. Perlunya masalah dalam hidup untuk sering kita kaji ulang agar tidak lagi datang berkali-kali dalam kehidupan, seperti empon-empon yang bersih dan siap parut harus kita cuci lagi.
  4. Waktunya kami menghaluskan empon-empon dengan memotongnya kecil-kecil dan kemudian memblendernya, bau harum jamu sudah mulai semerbak di dapur. Begitula permasalahan dalam hidup, masalah-masalah yang besar perlu kita potong-potong dan diskusikan bersama agar lebih mudah menyelesaikannya, tentunya permasalahan setiap manusia itu berbeda, namun ketika kita mampu berpikir rinci dan teliti saya yakin semua permasalahan akan dapat teratasi dengan baik, sedikit demi sedikit walau tidak langsung terselesaikan saat itu juga. Setidaknya kita sudah mampu mencium harum dari hikmah masalah yang datang menghampiri.
  5. Ketika empon-empon sudah hancur dan berada dalam sebuah panci besar penuh ramuan, barulah kita hidupkan api kompor perlahan-lahan, untuk mengeluarkan zat dan enzim yang terkandung di dalamnya. Proses ini memang perlu tenaga ekstra karena kita harus siap sedia menjaga agar ramuan tidak over cook alias terlalu mendidih. Karena jika terlalu mendidih maka zat dan enzim yang tadinya menyehatkan akan menjadi tidak baik. Begitupun permasalahan kita, ketika sampai pada suatu proses penggodokan. Permasalahan akan menjadi penyemangat jika kita berhati-hati mengambil hikmahnya, jika kita bersabar dalam menghadapinya. Saya yakin setiap masalah selalu ada hikmahnya, tergantung bagaimana kita melalui dan menghadapi proses penyelesaiannya.
  6. Setelah api dimatikan, saya biarkan ramuan tersebut terendam dalam kehangahatan air agar seluruh enzim dan zat yang berguna bagi tubuh kita keluar secara maksimal. Permasalahan dalam hidup terkadang perlu kita renungkan, agar semua hikmah yang dikirimkan oleh Tuhan dapat kita dapatkan dan pahami dengan benar.
  7. Sampailah pada proses penyaringan saripati dari empon-empon tadi. Kami siapkan wadah khusus untuk menampung hasil saringan, kami siapkan wadah bersih agar rasa dan kualitas tetap terjaga dengan baik. Kami tuangkan ramuan sedikit demi sedikit ke atas saringan besar, kemudian saya peras dan mengalirlah saripati yang kita tunggu-tunggu. Begitu proses permasalahan hidup kita mulai mengendap maka wajib bagi kita untuk menyaring manfaat dan pesan sesungguhnya dalam setiap masalah yang kita hadapi. Saya yakin semua masalah mempunyai saripati yang dapat menyembuhkan.
  8. Proses pengemasan dalam botol-botol sudah mulai bisa dilakukan. Empon- empon yang kotor dan penuh tanah tadi sudah siap untuk dikonsumsi. Jamu buatan kami sudah dapat dinikmati bersama, rasanya memang sedikit getir dan penuh proses, namun sangat berguna dan menyehatkan. Seperti itulah proses pengemasan masalah dalam kehidupan kita, jangan terburu-buru putus asa, karena setiap hidup adalah perjuangan. Tak ada perjuangan yang sia-sia dalam hidup kita. Pasti dan yakinlah bahwa kelak kita akan mendapatkan manfaatnya.

Sederatan proses pembuatan Jamu tersebut seolah memberikan kita pelajaran bahwa sesuatu yang pahit, getir dan tidak mengenakkan bagi kita belum tentu membuat kita sengsara. Justru sesuatu yang menurut kita buruk tersebut kadang malah menjadi obat bagi kehidupan kita, tinggal bagaimana kita menyikapinya saja.

Baiklah sedikit cerita tentang filosofi jamu yang banyak dibicarakan orang.

“Sepahit-pahitnya jamu, pasti tetap menyehatkan. Dan semanis-manisnya gula tetap saja tidak baik jika berlebihan” artinya sesuatu yang pahit dan tidak mengenakkan bukan berarti tak ada faedahnya dalam kehidupan, malah kadang sesuatu yang getir dan pahit itu perlu agar hidup kita lebih berarti dan menyenangkan.

Semoga sahabat sekalian selalu mendapat limpahan Rahmat dan Hidayah serta dinaungi keberkahan.

Bangkalan, 13 September 2020 di balik jendela kayu.

Andalan

Letak Surga

Hidup itu memang penuh kejutan, tinggal bagaimana kita berusaha menghadapi setiap kejutan dengan sikap yang bijak.

“Buah yang enak dimakan itu  banyak sekali  caranya untuk cepat masak, ada yang masak pohon atau secara alamiah, pun juga ada yang karbitan dan dipaksa masak”

Berdasarkan kalimat perumpamaan tersebut, saya mencoba mengartikan, bahwa sejatinya manusia itu akan matang dan dewasa dengan sendirinya. Ada yang matang atau dewasa karena terpaksa oleh keadaan, ada pula yang matang secara alami atau sesuai proses kehidupan.

Karena saya sendiri tahu bahwa hidup tak seindah dalam lukisan dongeng putri raja yang selalu berakhir bahagia. Setiap manusia mempunyai permasalahannya sendiri, tentu dengan porsi kekuatan masing-masing.  Saya tidak beranggapan bahwa saya adalah wanita paling kuat dan sabar dalam menjalani kehidupan, karena saya tahu bahwa jauh beribu tahun sebelum saya ditakdirkan untuk menghirup napas dunia, ada banyak wanita tangguh dan hebat yang sudah membuat tercengang seluruh alam.

Ketika manusia pertama kali diturunkan ke bumi, Nabi Adam dan Siti Hawa sudah mendapatkan ujian sesuai porsinya masing-masing, beliau-beliau adalah makhluk mulia yang pertama kali diciptakan, namun ujian dan cobaannya saja sudah sangat luar biasa. Yang di pisahkan jarak antar benua, apalagi hanya seorang saya, yang ahli puasa enggak, ahli salat enggak, ahli sedekah enggak, ahli Alquran apalagi? saya yang hanya wanita akhir zaman yang penuh keterbatasan dan kesalahan.

Bagaimana saya akan terus mengeluh bahwa saya adalah wanita paling menderita jika jauh sebelum saya dilahirkan sudah banyak tokoh mulia dalam Al quran yang selalu disebutkan dalam cerita bersejarah Agama. Teladan bagi seluruh wanita, Hawa, Khadijah, Aisyah, Masyitoh, Maryam, dan sederetan nama yang sudah melekat karena betapa tangguh dan mulianya mereka.

Siapalah saya yang merasa menjadi orang paling berjasa dalam hidup seseorang, jika bahkan setetes darahpun belum pernah saya korbankan untuknya. Siapalah saya yang berusaha menyaingi kebaikan hati dan kemuliaan wanita yang telah melahirkannya, jika bahkan perintah-perintahnya saja kadang masih sering saya lawan.

Selain ibu kandung, tidak ada wanita mulia lain yang pantas kita hormati dan muliakan selain seseorang yang telah mengorbankan jiwa raga dan seluruh hidupnya demi membesarkan lelaki yang kini berjuang mati-matian melindungi dan menafkahi kita.

Bagaimana tega? saya sebagai orang asing yang baru beberapa belas tahun hidup bersama anak kesayangannya dan menikmati segala apa yang putranya dapatkan untuk memenuhi kebutuhan kita, kemudian berusaha kita palingkan kasih sayangnya. Naudzubillah, dalam hidup saya, prinsipnya adalah Ibumu adalah ibuku, ayahmu adalah ayahku, begitupun sebaliknya. Karena semua kehidupan rumah tangga akan berjalan baik jika kita saling mengerti dan menyayangi.

Tidak sedikitpun terbesit di hati saya untuk menjauhkan seorang ibu dengan putra kesayangannya, tidak pernah sedikitpun saya seorang yang bukanlah siapa-siapa ini berusaha memepengaruhi pikiran seorang anak untuk tidak menghormati ibunya. Karena saya tahu bahwa bagi seorang pria, sampai langit runtuh dan bumi mengeluarkan segala apa yang dikandungnya pun seorang pria tetap wajib menjadikan ibunya yang pertama dan utama, surganya tetap ada pada telapak kaki wanita yang mencintainya sepanjang masa.

Sangat berbeda dengan saya yang sebagai seorang wanita, setelah ayah rahimahullah menyerahkan tanggung jawabnya secara resmi di hadapan Tuhannya kepada pria yang saya cinta. Begitu tangan seorang pria yang telah membesarkan saya dan membanting tulang mendidik dan menyekolahkan saya berjabat erat dengan pria yang mengambil alih seluruh kewajibannya yaitu pemimpin saya sampai akhirat,  berpindahlah surga saya ke telapak kakinya. Begitu besar tanggung jawab yang harus dipikul oleh seorang suami yang telah berjanji membahagiakan dan memimpin putri dari seorang ayah, yang kala itu meneteskan air matanya, seolah tak mampu berpisah dengan putri kesayangannya.

Semua yang saya pikirkan dan tuliskan kali ini menjadi bagian titik balik bagi saya dan suami, bahwa tak ada yang abadi di dunia ini. Semua hal yang kita dapatkan sampai saat ini hanyalah titipan. Begitupula dengan anak-anak yang luar biasa yang telah saya besarkan, belum apa-apa rasanya saya sebagai orangtua mendidik dan menyayangi mereka. Suatu saat apa yang dialami oleh seluruh orangtua, pun akan saya rasakan pada masanya kelak.

Triznie kurniawan,

Bangkalan, 6 September 2020.

Andalan

Sabtu Pramuka

Sabtu pagi itu Nadia sudah bersiap melanjutkan aktifitas rutin mencerdaskan anak bangsa yang berada 80 km dari tempat tinggal ya sekarang. Kebetulan Ada tumpangan Jadi setelah sholat subuh dia sudah siap dengan tas ransel berisi laptop kesayangan dan tas jinjing berisi hasil karya kesukaan teman-teman. Dengan perasaan tenang dan senang Nadia memasuki mobil saudara yang kebetulan satu arah. Alhamdulillah sabtu ini dia tak perlu berjalan jauh ke parkir an sepeda motor birunya. Walaupun dalam hatinya Ada terbesit keraguan, seperti biasa sepeda motor sejak zaman dia SMA itu sudah tidak lagi bersahabat.

Setelah sampai di parkir an, Nadia berdoa agar si Biru tetap bisa berkolaborasi dan tak lagi merepotkan orang-orang membantu ya menghidupkan mesin. Benar apa yang dia khawatirkan, si Biru ngambek lagi. Sampai akhirnya orang-orang membantu mendorongnya dan menghidupkan mesin. Nadia melanjutkan Perjalanan ke selatan menuju pesisir dengan perasaan was-was.

Sekitar 8 kilometer dari titik dia mulai bersepeda motor si Biru mulai terbatuk dan mengeluarkan suara parau alias mogok. Dengan sedikit rasa panik Nadia menoleh kanan Kiri untuk mencari bantuan di jalan yang masih sepi pagi itu. Akhirnya dia mendapat info bahwa 500 meter dari tempatnya Ada bengkel yang mungkin bisa menolongnya.

Bersambung dulu karena saya sudah hampir sampai pasar Blega.

Andalan

Kambing Kakek

Lukisan Pagi di Langit Suramadu

Jalan berkelok dan terjal mulai bersentuhan dengan roda-roda bus kota kesayangan Ratih. Wajahnya yang tertutup masker biru dongker itu tampak memerah dan kelopak matanya tampak mulai menahan genangan. Ratih berangkat sekolah dengan perasaan sangat tak karuan. Kaki kirinya yang masih terasa nyeri dia pegang dengan telapak tangannya yang mulai basah. Bekas hantaman gelondongan kayu yang sebesar lemari itu tak membuat semangatnya goyah sedikitpun. Pagi ini tepat ketika kokok ayam Jago milik kakeknya bernyanyi, Ratih tak sengaja mengusik tidur nyenyak seekor kambing di kadang kakek.

Kaki kanannya tak sengaja menginjak ekor kambing jantan yang sedang menikmati nyenyaknya menyelam dalam lautan mimpi. Seketika kambing putih itu bringsang dan menjatuhkan gelondongan kayu yang sudah tertata rapi di kandangnya. Tertimpalah kaki Kiri Ratih dan terpaksa dia berteriak minta bantuan kakek. Ratih sudah sepuluh tahun tinggal bersama kakeknya di sebuah kampung di pinggir kota. Hiruk pikuk jalanan kota sudah menjadi bagian dari kehidupannya.

Kambing putih yang sudah menjadi sahabat Ratih itu kini berjalan gontai meninggalkan rumah lamanya. Ia akan pergi meninggalkan sahabatnya tanpa pamit, perlahan pria renta itu menuntun si Kambing dengan perasaan sangat bahagia. Bukti ketekunannya selama ini, kini akhirnya dapat dijadikan hewan kurban untuk dirinya. Sungguh Ratih tak pernah menyadari jika sahabatnya akan berakhir di tangan panitia Hari Raya Adha di kampungnya. “Nduk, besok kita ke pasar ya, kita cari pengganti si Putih” ucap kakek kepada cucu semata wayangnya. Di dalam bus kota ini, setelah menghela napas panjang, tak terasa pipinya sudah banjir tak kuasa membendung air mata. Tak disangka, janji kakek mengajaknya ke pasar hanyalah tinggal kenangan.

Hanya pentigraf biasa, terinspirasi Hari Raya Adha. Selamat merayakan Iedul Qurban.

Bangkalan, 31 Juli 2020

Andalan

Jerit Pendidikan dari Seberang bagian 3/evaluasi diri

SDN Labuhan 1 sedang mengikuti Webinar Budaya Literasi bersama Ketua KALIMAT

Assalamualaikum wr. wb.

Menanggapi tulisan saya sebelumnya, maksud saya tanggapan atas tulisan saya sebelumnya yang sempat saya unggah di akun facebook pribadi saya.  Alhamdulilah banyak komentar positif walaupun juga ada beberapa tanggapan bersifat kritis. Namun semua tanggapan dan apresiasi yang sudah dituliskan dan disampaikan kepada saya, saya anggap sebuah masukan yang sangat membangun. Khususnya untuk pribadi saya. Saya ucapkan beribu terimakasih yang sudah sempat membagikan tulisan saya dan mampir di kolom komentar saya, ataupun yang sudah mengunjungi blog pribadi saya.

Saya sangat senang dan bangga dapat mewakili suara hati beberapa juta guru yang sama dengan kami, sebelum saya berpanjang lebar menulis, saya tegaskan sekali lagi bahwa tulisan saya yang saya upload tersebut bukanlah tulisan yang semata-mata keluhan, bukan ya bapak ibu. Hanya harapan dan ungkapan perasaan yang sebenarnya saja dari kami, mengapa saya memakai kata kami? Karena tulisan itu bukan hanya saya yang mengalami, ada beberapa yang terinspirasi dari teman-teman saya di daerah yang lebih pelosok. Sekali lagi tulisan yang saya tulis bukanlah bermaksud mencari sebuah pujian dari khalayak.

Teruntuk pemangku kebijakan, baik itu tenaga pendidik, maupun tenaga kependidikan, atau yang lain. Kami menulis, kami beraksi, kami berusaha menyampaiakn hal yang sebenarnya ini dilihat dari sudut pandang kami. Jadi nanti saya juga akan menulis dari sisi lain yang berbeda. Mohon jangan dulu menghakimi kami, mohon jangan dulu memberikan stempel “Aleman” atau cari muka kepada kami. Kami di sini benar-benar ingin menjalankan tugas dengan baik jika memang kami tak sebaik harapan bapak ibu yang berada di atas kami.

Sungguh kami paham, posisi pemerintah pada masa pandemi sekarang ini. Kamipun belum tentu kuat dan bisa mengemban amanah yang begitu berat di pundak seperti yang telah dilakukan pemerintah. Kami tahu dan paham ketika pemerintah memutar otak, memeras keringat, dan menahan amarah dan emosi dalam mencari solusi terbaik bagi pendidikan di negeri ini. Semoga seluruh rencana dan program yang luar biasa ini akan dapat berjalan dan tercapai dengan sukses di seluruh negeri. Aamin.

Kami hanya mengeluarkan argumentasi saja ketika pandemi menjadi sesuatu yang dianggap abadi. Bukan hanya argumentasi tanpa solusi, kami pun di sini berusaha memperbaiki kualitas diri. Berbagai macam webinar kami ikuti, pertemuan dan diskusi kami jalani, untuk apa? Ya pastinya untuk mencari solusi terbaik bagi kami dan anak didik kami. Dari sudut pandang yang berbeda kami mencoba mengerti, apa yang terjadi, mencoba memahami apa pula yang dirasakan Pak Menteri. Sungguh dari hati kami yang dalam, kami berdoa, semoga keadaan akan segera normal kembali.

Menanggapi perkembangan teknologi dan informasi yang kian menjadi-jadi, di pesisir ini pun kami berusaha berlari mengejar ketertinggalan kami walau kadang harus terseok dan terjerembab dalam kondisi memprihatinkan. Kami tentu saja tidak bisa berpangku tangan melihat situasi yang kian tak dapat diprediksi. Dengan sekuat dan sebisa kami, kami tingkatkan kualitas diri, dari diri sendiri, tentu kami mulai dari hati. Ketika hati kami sudah tak mau lagi mengupgrade diri, di situlah kehancuran akan mulai menggerogoti. Kami yakin pemerintah sudah menyiapkan segala infrastruktur yang memadai walaupun memang masih dalam proses pemerataan di seluruh negeri. Kami paham dan mengerti ini. Tentu kami juga bersyukur dapat menikmati keadaan Indonesia yang masih aman di tengah pandemi. Alhamdulillah konflik sudah tak begitu gencar lagi terdengar di telinga kami. Salah satu hal positif yang bisa kami syukuri.

Teman-teman guru di seantero negeri, saya pribadi ingin mengajak Anda semua untuk belajar, bukan berarti saya sudah mumpuni, bukan, tetapi saya ingin seluruh pendidik di negeri ini menjadi lebih dihargai karena kualitas diri yang mumpuni. Saya yakin, walaupun kami terhalangi oleh fasilitas yang mungkin belum kami nikmati namun semangat membangun negeri akan tetap berkobar di dada kami. Jadi, Bapak Menteri tidak perlu meragukan lagi semangat kami. Sesungguhnya memangku jabatan itu memang tak semudah kami yang tinggal menjalani. Tentu saja berbagai macam kritik dan saran serta penilaian positif negative akan mengalir terus kepada Anda Pak Menteri. Seperti kalimat yang sering kami dengar, “Penonton selalu lebih riuh dari pemain” semoga Pak Menteri tetap semangat membangun SDM negeri.

Di tengah semakin merebaknya keluhan emak-emak dan beberapa wali murid yang sudah mulai lelah ini, kami para guru pun tak tinggal diam menyaksikan panggung media social yang setiap hari terbanjiri dengan bermacam atraksi. Hal positif yang dapat kami ambil adalah, revolusi pendidikan mungkin saja akan terjadi, dan beberapa anak negeri juga akan terseleksi dan terbagi menjadi beberapa kalangan. Tidak ada revolusi yang tidak memakan korban, tentu saja revolusi ini butuh sebuah perjuangan. Perjuangan dari berbagai lini, dari sisi Kementrian, orangtua, siswa, lingkungan, dan tentu saja pendidik di negeri ini. Mungkin pada akhirnya nanti akan tercipta sebuah kondisi yang baik, yang seimbang dan bersinergi antara orangtua, guru, siswa, tenaga kependidikan, dan juga pemerintah. Semoga kita dapat lalui hari-hari sulit ini.

Revolusi tentu akan tetap berjalan dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat ini, jika dilihat dari kacamata dunia, kita adalah negara yang dapat dibilang masih jauh dari negara lain dalam teknologi. Bukan berarti negara kita tak pernah berprestasi namun hanya beberapa saja yang prestasinya tergaungkan di ajang bergengsi. Apakah semua prestasi itu lantas diapresiasi dengan baik oleh penduduk negeri? Tanyakanlah pada hati nurani. Karena tak semua prestasi mendapat apresiasi. Ini bahan menarik yang pernah saya tulis dalam sebuah buku antologi.

Sungguh begitu memesona program futuristic yang telah beberapa kali dibacakan di podium negeri, sangat inspiratif, dan luar biasa. Tantangan selanjutnya adalah menjadikan para distributor pendidikan mendapatkan akses perjalanan yang bisa dianggap tak menyulitkan. Tentu saja pemerintah pun sudah menyiapkan berbagai macam jenis peningkatan kualitas diri. Begitu banyaknya program diklat dan seminar yang memungkinkan kami mengupgrade kualitas diri ini kadang pun tak seimbang dengan semangat pendidik yang sudah duluan patah hati.

Tak mudah membuat anak-anak semangat belajar dan terinspirasi, kadang di antara kami sendiri masih kesulitan membangun kepercayaan kepada kemampuan diri. Benar adanya kami kadang tak percaya pada kualitas diri, namun ketika kami berusaha diskusi dan saling menyemangati, maka rasa takut yang sering mendatangi mimpi kami ini perlahan pergi meninggalkan kami. Harapan demi harapan kepada pendidik di seluruh negeri, semoga kita bisa kuat dan tabah menjalani tugas sesuai pokok dan fungsi. Sungguh apresiasi positif sangatlah penting dalam memotivasi pendidik di negeri ini.

Pendidik di negeri ini tak sedikit yang berjuang dengan gaji hanya beberapa puluh ribu saja per bulan, itu ada dan nyata. Saya pribadi memang selalu bersyukur sudah menjadi bagian dari Abdi Negara di negeri ini, sekali lagi saya tidak mengeluhkan diri saya, saya mewakili para guru honorer dan guru tidak tetap yang bergaji minim di negeri ini. Saya sangat salut kepada mereka yang tetap berjuang mendampingi siswa-siswi, berusaha menjadikan anak bangsa ini tetap mendapatkan hak sesuai amanat pendidikan. Mereka mengesampingkan kebutuhan diri dan anak istri yang memang juga harus tetap teratasi. Tetapi teman-teman saya ini tetap gigih membangun negeri dengan cara kami sendiri. Mereka adalah generasi yang harus kami lindungi dari ketidaktahuannya tentang krisis dan pandemic. Mereka hanya tahu kapan kami bisa bertemu bapak dan bu guru lagi?

Kadang hal baik yang kita lakukan tak selalu dianggap baik oleh sebagian orang, begitupun dengan program pemerintahan, baik untuk pendidikan juga tak selalu dianggap baik oleh pendidik. Sebaliknya juga dengan kami di sini, kegiatan yang kami lakukan menurut kami baik untuk anak didik belum tentu juga mendapat apresiasi positif dari beberapa gelintir atasan kami. Yang mungkin hanya melihat kami dari satu sisi. Miris.

Saya yakin saja ketika kita tetap istiqomah dan niat ikhlas dalam hati karena Allah, bukan karena ingin dipuji, apalagi mendapat sensasi. Saya yakin segala hal baik dan keberkahan akan menghampiri. Sekali lagi, kami garis bawahi kepada para pembaca di pelosok negeri, bahwa ini bukan keluhan, bukan pula kritikan, ini adalah ungkapan dan sedikit perbaikan diri dalam melaksanakan tugas pengabdian. Terima kasih para guru di pelosok negeri semoga jasa dan pengorbananmu tetap terukir di hati mereka yang berusaha kalian cetak untuk berbudi pekerti dan berakhlak mulia.

Wassalamualaikum wr. wb.

Trisniati, S.Pd_Guru SDN Labuhan 1 Kecamatan Sreseh Kabupaten Sampang

Tulisan ini terlahir dari jeritan hati beberapa dari kami, pendidik di sebagian kecil negeri. Mohon maaf jika ada beberapa kata atau kalimat yang terkesan kurang pas. Keterbatasan diksi kami menjadi salah satu hal yang harap dimaklumi.

Salam membangun negeri.

Andalan

Jerit Pendidikan dari Seberang (bagian 2)

foto sebagai ilustrasi, tetapi memang real.

Alhamdulillah tahun ajaran baru berjalan sudah dua minggu. Saya seorang guru dari sebuah desa di Pesisir Madura, tepatnya Desa Labuhan, Kecamatan Sreseh Kabupaten Sampang yang berada di atas sebuah pulau yang biasa mereka sebut Madura. Ingin berbagi cerita dan pendapat saja. Semoga tulisan ini dapat mewakili keresahan dan kegelisahan yang melanda para pelayan pendidikan di seluruh nusantara.

Sejak pandemi ini berjangkit di Negara kita tercinta, kami para pendidik dan pelayan pendidikan di seluruh Indonesia mendapatkan surat keputusan yang cukup mencengangkan. Ya dengan berbagai alasan rasional pemangku kebijakan di pusat sana telah memberlakukan pembelajaran yang sangat miris khususnya buat saya dan juga seluruh pendidik di negeri kita.

Memang benar ada beberapa daerah zona hijau yang sudah memperbolehkan pertemuan tatap muka dengan generasi penerus bangsanya. Namun bagaimana dengan kami yang zona merah ini? Kami harus tetap mematuhi peraturan yang telah dimatangkan oleh pemerintah. Kami harus patuh dan melaksanakan perintah negara sebagai bentuk pengabdian kami kepada bumi pertiwi.

Bapak dan Ibu Guru di seluruh Indonesia yang sangat saya banggakan, sungguh dari dalam hati saya yang paling dalam saya ungkapkan. Betapa banyak cemooh yang ditujukan kepada kami ASN yang bertugas sebagai guru ini digaungkan. Dari banyak segi kami dibicarakan, ada yang bilang kami hanya makan gaji buta, ada yang bilang kami hanya pencitraan, ada juga yang bilang guru zaman sekarang hanya tinggal ongkang-ongkang kaki untuk mengajar.

Astaghfirulah. Runtuh pertahanan diri saya membaca tulisan-tulisan dan artikel miris yang mengatakan guru-guru Indonesia tidak berkualitas. Iya kami akui, ada beberapa di antara kami yang mungkin mendekati semua indikator yang mereka sebutkan. Namun tahukah Anda? Masih ada ribuan bahkan jutaan guru lain yang dedikasinya tak terekspos media dan tak terlihat oleh mereka. Karena bagi kami dedikasi tak selalu terdokumentasi.

Tidak semua guru di Indonesia mendapat fasilitas lengkap seperti yang mereka dapatkan di perkotaan. Tidak semudah itu, silahkan meninjau kami yang berada di pesisir ini, sekedar mewakili beberapa daerah yang memang sama secara geografis dengan kami.

Sinyal yang tak selalu bersahabat dengan kami, kecepatan transportasi yang tak secanggih dan secepat Jakarta dan kota besar lainnya, Sumber Daya Manusia yang tak seperti mereka di kota. Membuat kami menjerit dan menengadahkan kedua tangan lebih rajin lagi mendoakan negara, membuat dada kami semakin sering teriris dengan keadan yang sangat jauh berbeda.

Ini Indonesia, berbagai macam ceritanya. Mungkin tulisan saya ini hanyalah sebagian kecil dari gambaran ketimpangan yang ada di Indonesia, ada banyak teman-teman pendidik kami yang jauh lebih memprihatinkan dari kami yang berada di pesisir. Pada kenyataannya.

Kami di Kabupaten Sampang mendapatkan mandat dari Dinas Pendidikan untuk segera turun membersamai dan mendampingi siswa-siswi kami yang terlantar selama pandemi.

Awalnya di tahun ajaran baru ini kami diarahkan pada pembelajaran yang bersifat Daring, Luring, dan kombinasi daring dan luring. Dilema bagi kami praktisi yang ingin bekerja dengan hati, tak selalu mengandalkan argumentasi fiksi.

Luar biasa konsep yang telah dicanangkan, saya mengakui dan memberikan apresiasi yang luar biasa kepada pemerintahan kabupaten kami. Telah menggerakkan seluruh guru di pelosok Sampang ini secara kompak dan giat turun ke lapangan. Tanpa tahu risiko apa yang akan menimpa pada diri kami, kami siapkan peralatan seadanya, masker, handsanitizer, dan juga buku paket yang akan kami sampaikan pada anak didik.

Pedulikah kami dengan keadaan lapangan?Pedulikah kami dengan cuaca yang tak mendukung? Tidak, kami tak peduli, kami dengan ikhlas dan niat tulus ingin menemui anak didik kami yang sudah lama tak saling bertemu ini.

Cerita ini saya ambil dari pengalaman luring pertama kali yang saya lakukan, sederhana dan ternyata membuat banyak mata terbelalak. Dari sekian banyak siswa saya yang sudah seminggu ini mengikuti pembelajaran daring via whatsapp (ya kami belum melakukan pembelajaran yang hebat dan canggih seperti zoom dll), sebagian besar mereka aktif melakukan komunikasi dengan saya guru kelas mereka. Walau masih ada yang belum bisa kami dapatkan kabar dan keberadaannya.

Dalam grup tersebut heterogen, jika dulu saya hanya memasukkan nomor hp wali siswa saja. Sekarang berbeda, kami memasukkan dua-dua nya, nomor whatssapp yang bisa kami ajak diskusi. Sederhana saja alasan kami, karena tidak semua siswa kami tinggal bersama orangtua mereka.

Tidak semua siswa kami mempunyai akses internet yang membahana dan cetar layaknya Jakarta. Orangtua mereka kebanyakan adalah penyumbang devisa yang bekerja di luar negara.Bagaimana kami bisa menjalankan ini semua? Semua butuh proses dan kesabaran, saya merasakan betapa ribetnya komunikasi melalui whatsapp dengan mereka pada mulanya, namun akhirnya kami terbiasa dan sudah mulai bisa tergambarkan kegiatannya.

Bermacam latar belakang kehidupan siswa dan orangtua membuat saya kadang bergidik. Saya merasa lelah mengatasinya, namun seketika perasaan yang tak seharusnya ada di hati saya itu sirna. Dengan memikirkan hal-hal baik yang bisa kami lakukan selama pandemi ini.

Ada beberapa siswa yang sama sekali lost contact dari pemantauan saya, dan ketika saya mencoba mendatangi mereka untuk mengetahui apakah gerangan kiranya yang menghambat mereka?

“Anak kami tidak punya hp bu, di jual” Tukas seorang ibu paruh baya dari seberang jalan tempat saya berpijak.

Terasa perih hati saya, porak poranda pertahanan saya melihat dan mendengar ucapannya.Apa yang bisa kami lakukan dengan pendapatan kami yang juga pas-pasan ini?Apa kami akan memaksa mereka mempunyai gawai canggih seperti anak kota?Tentu saja tidak, hal apapun akan kami lakukan demi anak bangsa yang mau tidak mau mereka kan memimpin Indonesia pada masanya. Salah satunya adalah dengan tetap menulis ini.

Segera saya memberikan penjelasan bahwa saya, juga seluruh pendidik di Kabupaten Sampang ini akan mendatangi mereka, satu per satu, entah apa yang akan dipikirkan oleh tenaga medis ketika melihat kami mendatangi rumah mereka masing-masing. Padahal, belum tentu kami menemukan mereka ada di rumah. Apalagi mengharap mereka sedang belajar di rumah. Seperti mencari jarum dalam jerami. Mereka tidak semudah itu terkontrol untuk tetap berada di rumah. Mereka sudah lelah, merekapun menghabiskan hari-harinya bermain layang-layang, mencari kerang atau hal lain yang biasa mereka lakukan untuk meruntuhkan kejenuhannya di pantai, laut tepatnya.

Tidak semua dari mereka nuruti apa kata orangtua, lebih-lebih bagi mereka yang jauh dari orangtua, mereka yang kurang perhatian dan kasih sayang dari orang-orang terdekatnya. Bebas, mereka bermain keluyuran sepanjang hari, bahkan beberapa anak didik yang saya temui sudah bermata merah bekas berjibaku dengan air asin itu. Ironis.

Bukan hanya saya yang berjuang demi mencerdaskan bangsa seperti ini, mungkin hanya geografis yang berbeda saja yang membuat kami punya cerita unik dan menarik yang wajib diulik dalam sisi yang berbeda. Sampang tidak hanya terdiri atas pesisir dan dataran rendah saja, namun daerah kami pun juga ada yang terjal, seperti perbukitan dan jauhnya jarak rumah siswa satu dengan yang lainnya.

Kisah inspiratif pembelajaran di masa pandemi ini belum berakhir, kami harus melakukan hal ini sampai batas waktu yang belum bisa dipastikan. Jika kami merasa iri dengan para pendidik yang berada di perkotaan tentu saja tidak etis, karena memang kami berbeda walaupun secara nominal yang kami terima sama saja.

Di perkotaan semua fasilitas tersedia dan begitu juga siswanya, di rumah sudah lengkap dengan akses internet, gawai, laptop, bahkan dengan tripod dan headset yang ciamik. Guru kota pun juga punya kisah tersendiri, saya tidak akan membanding-bandingkan keadaan kami, karena memang kami berbeda. Justru karena perbedaan itulah lahir sebuah karya.

Hanya sedikit kecewa saja ketika kami dituntut bekerja sesuai perintah dengan berbagai bentuk pelaporan BDR yang luar biasa. Kami yang diwajibkan menyamai mereka yang dinas di kota. Belum lagi kami harus memantau keadaan siswa baik yang aktif daring ataupun yang harus kami luring.

Bagi kami yang juga punya anak usia sekolah di rumah adalah buah simalakama.Siapa yang akan melakukan pendampingan kepada mereka? Di sana banyak yang masih tak percaya dengan kerja kami para guru ini. Masih banyak yang mengatakan kami hanya makan gaji buta. Miris.

Padahal, kami pendidik di sini pontang-panting memeras otak dan otot, memikirkan bagaimana jadinya Indonesia di masa yang akan datang?Akankah generasi emas yang sudah dicanangkan itu akan terlahir tepat pada waktunya? Atau bahkan malah lahir premature dan tak sesuai harapan. Tentu kami berharap yang terbaik bagi bangsa dan Negara.

Kami sangat ingin mengungkapkan segala hal yang terjadi di sini, di bawah sini, di pinggiran ini, tak semudah seperti ucapan mereka yang hanya bisa melahirkan teori tanpa keilmuan yang pasti seperti praktisi. Harapan akan lahirnya penerus masa depan yang gemilang kadang meredup sejenak ketika kami melirik lagi pembelajaran di masa pandemi.

Jangan salahkan siapa-siapa ketika nanti akan ada penurunan kualitas sumber daya manusia besar-besaran. Jangan salahkan siapa-siapa ketika nanti kita dihadapkan pada perubahan penilaian masyarakat terhadap paradigma pendidikan. Jangan, janganlah kita saling menyalahkan, mari kembali kepada hati nurani, kembali kepada tupoksi diri. Tulus, ikhlas, sabar dan tetap semangat mencerdaskan anak negeri di tengah pandemi.

Perkembangan teknologi dan informasi memang sangat pesat dan luar biasa. Saya pribadi adalah pecinta perubahan, saya senang dengan hal-hal baru berkaitan dengan teknologi dan literasi. Ketika di atas sana sudah mulai gencar membicarakan pembelajaran daring yang akan diteruskan, saya hanya bisa mengelus dada, mencoba menahan perihnya keadaan di bawah sana. Bagai langit dan bumi, disparitas yang melanda negeri.

Bapak ibu pemangku kebijakan, kami para guru bukan tak mau berubah dengan perkembangan teknologi, bukan kami malas belajar memainkan jari-jari kami, bukan, kami hanya ingin kebijakan itu berdasarkan keadaan real di sini. Berikan kami kepercayaan sepenuhnya. Mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai tujuan Utama Pendidikan Nasional.

Namun di balik hiruk pikuk gedung mewah di sana. Terlintas dalam hati kami.Bagaimana kami melakukan pembelajaran dalam jaringan, ketika sinyal saja kadang kami harus naik-naik pohon untuk mendapatkannya. Bagaimana kami bisa melakukan pembelajaran tatap muka virtual, ketika gawai peserta didik dibawa oleh orangtua mereka yang juga masih bekerja dengan waktu yang tentunya berbeda. Bahkan banyak yang tidak punya. Bagaimana mereka bisa melakukan kelas online yang waktunya ditentukan, jika mereka untuk makan saja masih berpikir dapat darimana. Tes. Rintik itu jatuh perlahan dari netra saya.

Jadi Teman-teman, ini Indonesia dengan bermacam budaya dan keaneragaman sukunya, ini Indonesia dengan ribuan pulaunya, Ini Indonesia dengan latar belakang siswa dan orangtuanya yang beraneka warna. Jangan samakan kami dengan mereka, jangan pula terlalu menuntut kami dapat bekerja secepat dan selayak mereka di sana, jangan samakan kami dengan mereka yang mempunyai ruangan berAC dan kemewahannya, jangan pula samakan kami dengan mereka yang hidup serba modern dan futuristic di sana.

Satu yang tetap kami pegang dan terus kami gaungkan, kami hanya ingin panak didik kami berprestasi dan tetap berakhlak mulia. Berakhlak mulia, yang kami tebalkan dan kami garis bawahi di tengah krisis akhlak dan mental yang juga sedang melanda negeri.

Mereka siswa kami yang belajar daring juga banyak yang hanya menggunakannya untuk MaBar saja, kami di desa? Iya beberapa juga ada yang punya gawai dan mereka tak peduli dengan notifikasi grup WA kelas yang berderit-derit itu. Mereka lebih senang memasang status tampilan gamenya, dari pada berlomba-lomba mengerjakan dan mengumpulkan tugas dari gurunya. Disitulah tugas kami mendatangi rumah mereka, ternyata banyak faktor, sangat beragam sekali alasan mereka.Bagaimana mereka bisa mengontrol kegiatan bermain, jika tidak ada orangtua atau wali yang mengingatkan mereka, yang bisa menyentuh hati dan perasaan mereka, mereka jauh dari orangtua.

Dalam kehidupan normal yang sebelum pandemi ini, mereka sedikit banyak masih mendapat perhatian dan sentuhan dari kami orangtua mereka di sebuah lembaga pendidikan yang kami sebut-sebut sebagai sekolah ini.Sekolah yang biasanya riuh dengan celoteh mereka, yang ramai dengan kebisingan mereka, halaman yang penuh dengan jejak-jejak kaki mungil penerus bangsa, ruang kelas yang gaduh dengan gelak tawa mereka, kini hening, kosong dan bangku-bangku itu seolah menangis merindukan tuannya.

Pembukaan Tahun Ajaran baru yang sepi, tanpa upacara dan sambutan kepala sekolah di halaman. Membuat saya pribadi meneteskan butiran air mata.

Bagaimana dengan siswa baru? Siswa kelas satu yang baru saja lulus TK dengan virtual kalau di kota. Kalau di desa jangan harap lulusan virtual. Mereka yang orangtuanya antusias ingin mengantarkan hari pertama buah hatinya ke sekolah, gagal, kandas tanpa kata.

Tunggu tulisan saya berikutnya ya…. Wassalamualaikum Wr. Wb.

Trisniati, S.Pd Guru SDN Labuhan 1 Kecamatan Sreseh Kabupaten Sampang.

Tulisan ini terinspirasi dari cerita dan kisah pendidik di daerah kami pada masa pandemi. Baru sempat copy tulisan di blog. selamat menikmati.

Cc: Menteri Pendidikan

Andalan

Mencintaimu dengan Sederhana

Pelengkap saja

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti cinta bebatuan kepada lumut sebelum membuatnya menjadi tanah.

triznie kurniawan

(terinspirasi puisi Sapardi Djoko Damono “Aku ingin”)

Dari balik rimbunan kayu dan ranting yang menjuntai lebat di atas rumah pohon ini, aku dan dua sahabatku sedang mengamati beberapa makhluk yang sedari pagi tak kunjung menepi, sampai mentari yang kini beringsut turun ke peraduannya. Jaring-jaring terpasang rapi sesuai marka yang telah digariskannya walaupun marka terkesan imajiner dalam pandangan saya yang awam seluk beluk air berwarna biru itu. Sesekali mereka bergerak menuju jaring yang tampak sudah tenggelam, diangkatnya dan terbelalak kornea saya melihat ribuan hewan bersirip itu bergelojotan kehilangan udara tertangkap mereka. Tangkapan ikan dalam jaring-jaring yang terpasang dengan baik ternyata sangat mudah dalam pandangan saya.

Dua sahabat terbaik yang menemani saya di atas ini adalah para penganguran yang malas dan hanya ingin hasil tanpa usaha. Entah pikiran apa yang merasuki mereka, tak ada yang dihasilkan tanpa proses, padahal menikmati proses itu luar biasa. Ibarat sebuah jala, tak kan mungkin menjebak ikan jika hanya tergantung tak berdaya di serambi nelayan.

Dua sahabat saya sudah jengah dengan tausiyah yang setiap pagi saya udarakan di atas rumah pohon di tepi pantai ini. Mereka lupa bahwa segala yang ada di dunia ini pasti membutuhkan prosesnya.

Orang kaya berproses dari tak punya (kalau gak dapat warisan lo ya), ilmuwan dan dokter juga perlu proses agar mereka menjadi profesional, seorang guru tidak akan bisa menjadi pendidik tanpa poses belajar yang tekun dan sungguh-sungguh, begitu pula para pengusaha tidak akan menjadi sukses tanpa proses manajemen yang luar biasa, semua yang ada di bumi dan seisinya memerlukan proses.

Bahkan kita tahu manusia diciptakan pertama kalipun melalui proses dan peristiwa, Ibu Hawa diciptakan untuk menemani sang Adam yang sendirian menikmati surga. Semua diciptakan dengan proses dan tujuan. Kita sebagai anak cucunya yang percaya bahwa ada beberapa hal yang harus dimulai dengan langkah tertatih-tatih dalam menelusuri jalan berliku, tak sedikit mereka yang terseok-seok dalam mencapai tujuan akhirnya.

Seperti kata para senior dalam kepenulisan, tulis apa yang kamu pikirkan jangan ditunda, begitulah proses, ternyata menikmati proses menulis itu sangat luar biasa. ketika tulisan kita mendapat pujian bahkan kritikan, itu adalah bonus dari usaha dan proses yang sangat nikmat untuk dilumat bersama mimpi-mimpi kita. Semoga terwujud segera. Seperti sekarang ini saya menulis ya menulis aja. Hihihi.

Hidup itu tak semulus lantai istana, hidup juga tak selalu berliku seperti bidang miring di Gunung Arjuna. Namun, yang perlu kita tahu adalah hidup itu ibadah, hidup itu perjuangan menjalankan ibadah, ibadah terlama yang kita lakukan saat ini adalah menjalani proses mengarungi bahtera menuju keluarga sakinah mawaddah warahmah. Bagi kalian yang belum sempat menikmati ibadah terlama tentunya tunggu dan nikmati prosesnya.

Dalam perjalanan ibadah ini tentunya banyak ujian dan rintangan yang datang silih berganti bak sinetron, karena saya yakin setiap manusia punya cerita unik tersendiri dalam menjalankan perahu cinta mereka. Seperti saya yang mencintai penggenap iman saya dengan sangat sederhana, saya ingin mencintainya dengan sangat sederhana seperi apa yang dilakukan batu kepada lumut yang menjadikannya tanah. Kami para wanita yang keras seperti batu ini bisa luluh dan mudah dibentuk seperti tanah ketika lumut bekerja dengan baik dalam proses pelapukannya. Wahai para pria untuk menaklukkan batuan yang keras tak perlu juga menjadi karang, cukuplah menjadi lumut yang berproses dengan lembutnya. hihihi selamat mencoba.

Tulisan ini hanya opini, bukan pentigraf

NB. Update pentigraf nanti sorean ajah

Andalan

LDR

Siapa sih yang tidak mau hidup normal? Hidup normal layaknya keluarga-keluarga lainnya. Suami istri dan anak-anak bertatap muka setiap hari, tak perlu lagi menenun rindu kala senin pagi menghampiri dan menyelesaikan tenunan rindu pada akhir pekan.  Sudah tak dapat dipungkiri lagi, Nadia dan penggenap imannya patut mendapat lencana sebagai pemenang predikat LDR an terbaik versi majalah mereka sendiri. Bagaimana tidak? Sudah sedasa warsa mereka menjalani kehidupan abnormal namun tetap dijalani dengan normal.

Pagi itu Nadia sudah bersiap-siap menuju tempatnya berdinas setelah anak pertamanya berangkat ke sekolah naik sepeda kesayangannya. Si adik yang masih sekolah Taman Kanak-kanak pun sudah siap dengan seragam kuningnya. Sebenarnya hari ini Nadia sangat kecewa, semalam dia mendapat pesan dari suaminya bahwa seminggu ini harus ikut workshop perbankan di luar Kota., padahal minggu ini adalah minggu yang dinanti-nanti selama setahun. Minggu yang spesial dan sudah sangat dia rencanakan bersama suaminya untuk bersama. Mensyukuri kebersamaan mereka sejak sebelas tahun lalu.

Nadia gusar, dadanya sesak berapi-api, tangannya mengepal, kedua netranya berkabut dan mulai menggenang, pikiran-pikiran negative mulai berdatangan tanpa permisi. Nadia mengeluarkan sepeda motor kesayangan “blue black” miliknya. Dia tekan starter dengan penuh emosi, sembari memanaskan mesin yang sudah mulai terdengar tak nyaman di telinganya dia menyeka kaca spion dengan tangan mungilnya. “Dert..dert..” gawai dalam kantong abu-abu itu bergetar. Secepat kilat dia rogoh dan diusapnya aplikasi warna hijau yang paling sering terpakai itu. “Maaf dek, malam ini aku diharuskan menginap dengan seorang wanita, sebenarnya aku sudah menolak tetapi ini sudah aturan kantor, aku janji tidak akan terjadi sesuatu yang membuatmu kecewa” pesan itu berhasil membuat netra yang menggenang kini mengalir deras. Setelah berusaha bernapas dan menata hatinya, Nadia melirik kaca spion untuk membenahi wajahnya, belum sempat dia mengusap kedua matanya, bayangan seorang pria dengan sebuah kotak besar yang hanya tampak kaki jenjangnya, begitu Nadia menoleh “Kejutaaaaaan….” Suara pria yang dia tangisi terdengar sangat merdu dari balik kotak itu. Menyebalkan. “Wanita itu ya kamu” bisiknya.

Pentigraf ini hanya fiksi belaka walaupun terinspirasi dari kejadian nyata

Andalan

Acc Boss

Follow yes👆

Tekad dan kekuatan doa adalah segalanya, Nothing Impossible tak ada yang tak mungkin. Bermodal tekad yang kuat akhirnya kami bertiga dapat melanjutkan sekolah sampai pendidikan tinggi. Awalnya banyak kerabat yang kurang senang melihat mereka bertiga getol dalam bersekolah, mengingat lingkungan yang masih sangat kolot dengan peradaban persawahan dan peternakan. Namun, kini Nadia dan dua saudaranya dapat menunjukkan, bahwa kami anak-anak yang dulu pernah kalian bully, anak-anak yang dulu pernah kalian cemooh, anak-anak yang dulu sering kalian tuduh mencuri, kini mendapatkan sesuatu yang sampai detik ini belum bisa didapatkan oleh kalian. Wahai manusia berharta dan bertahta, roda itu berputar, bumi pun berotasi untuk menghasilkan siang dan malam yang bisa kalian nikmati. Begitupula kehidupan, semua yang ada pada diri akan terus berotasi, tak akan ada yang abadi. Yakinlah bahwa langit akan kembali cerah setelah berlalunya badai.

Kerupuk bergambar udang warna ungu yang bertuliskan “ACC BOSS” merupakan jajanan ngetren pada tahun 90an di desaku. Terlihat menggelayut di tepi sebuah warung di pinggir jalanan sepanjang aku pulang sekolah bersama adik tersayangku. Kurogoh kantong kain dalam rok hijau yang aku kenakan, ku keluarkan tangan kosongku dan kuperlihatkan pada adik kecilku. Dia menunduk tanda kecewa padaku, belum juga aku menjelaskan padanya, tangannya sudah menggaet jajanan warna ungu itu. Adik yang ikut sekolah denganku walau usianya belum cukup, dia menungguiku belajar di luar kelas ketika aku sekolah. Sesak dadaku ingin berteriak padanya (tentu dia tak paham apa yang sudah dilakukannya), namun ibu penjual dengan suara khasnya itu sudah mendapati kami berdua memegang dagangannya. “Tidak kami tidak mencuri” suaraku serak seraya melindungi punggung adikku dari benda keras yang terus saja menimpaku.

Beberapa tahun lalu kami bertiga menikmati libur sekolah panjang bersama ke sebuah tempat rekreasi. Senang rasanya dapat bercengkerama dan mengingat kenangan masa kecil yang sangat luar biasa. Di sudut taman itu tampak seorang wanita tua dengan daster compang-camping membawa baskom berisi beberapa receh koin. Tak tega aku melihat ibu itu kepanasan, bulir-bulir keringat mengucur deras dari balik rambut kumalnya. “Sembah nuwun nak, mugi Gusti Allah maringi rejeki sing barokah” tuturnya ketika kami menceburkan beberapa lembar ribuan. Entahlah apa hanya perasaanku saja, suara itu seperti sangat familiar dalam ingatan.

Pentigraf ini hanya fiksi belaka walau terlahir dari modifikasi kisah nyata.

Andalan

Koran Pagi

Foto pribadi bangsaku

Ketika ayam belum berhenti berkokok fajar itu, Nadia sudah melipat-lipat beberapa kerudung dan gamis ke dalam tas ranselnya. Suami yang baru satu bulan menikahinya masih belum turun dari tempat ibadahnya. Wanita muda itu bersungut-sungut ingin segera naik kapal feri ke seberang sana. Sebelum suami menegurnya dia sudah menyiapkan segala keperluan di perjalanan menuju kampung halaman. Entah mengapa rindu ibu terdengar menderu sejak beberapa minggu lalu, tepatnya setelah ia mengikuti tes masuk Calon Pegawai Negeri Sipil di pulau ini.

Nadia memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, setelah berdiskusi panjang dengan imamnya sejak seminggu lalu. Dengan berbagai argumen yang meyakinkan, Nadia berhasil membuat pria yang menjadi pendamping hidupnya itu menganggukkan kepalanya setelah sidang paripurna sepanjang malam. “Tidak mungkin saya yang tak berpunya apa ini bisa lolos Mas” Mukaddimah semalam dibukanya di hadapan suaminya. Banyak pertimbangan yang membuat suami Nadia enggan berbalik ke Kota dingin itu. Di sini dia bisa bekerja di Kota terbesar kedua setelah Jakarta dan menemani istrinya. Entah mengapa Nadia tidak terlalu optimis dengan nasib baiknya karena kabar angin berdesir seolah tak mendukungnya, kabar tak mengenakkan, jika mau lolos ya harus punya sekian puluh juta.

Tujuh dari delapan sahabatnya merantau ke luar kota, bahkan ke luar pulau untuk mengadukan nasib mereka, begitupun dengan Nadia. Penat sudah Nadia menunggu hasil pengumuman yang tak kunjung tiba, tahun 2008 itu internet belum secanggih dan secepat sekarang. kalaupun ada pemberitahuan Nadia hanya bisa membaca di koran langganan ayah mertuanya setiap pagi. Sepeda motor sudah dipanasi oleh suami, tas ransel sudah bertengger di punggung Nadia. Dengan penuh takdim dan hormat Nadia mencium tangan seorang wanita yang sudah melahirkan suaminya ini, sebelum Nadia mengangkat kepalanya tiba-tiba keponakan suaminya berteriak “Mbak, mbak, mbak, nama sampeyan ada di urutan nomor dua” seraya melambaikan koran pagi yang dinanti.

Bangkalan, 30 Desember 2008

#Hanyapentigrafbiasa

Andalan

Jejak

Foto ssebagai penguat saja

Pagi ini mentari menelisik masuk melalui celah bilik bambu milik Mbok Darmi, menyerbak memenuhi ruangan yang sederhana namun rapi dan terlihat bersih. Rumah mungil di tengah hutan itu adalah milik Mbok Darmi dan suaminya Pak Darman. Lansia yang tinggal di hutan jauh dari ingar bingar perkotaan. Kehidupan damai mereka temukan di dalam sana, tanpa listrik tanpa barang elektronik satupun. Namun keduanya hidup rukun dan bahagia, walaupun tak menikmati kemewahan seperti yang disuguhkan artis youtube yang semakin merajalela akhir-akhir ini. Berdua menikmati hidup bersama alam raya tanpa penghalang.

Kayu-kayu besar yang mengepung gubuk bambu di tengah hutan itu, tampak gagah namun tetap anggun dengan cabang menjuntai serta daun lebatnya. Setiap pagi buta Mbok Darmi memunguti dedaunan kering dan mengumpulkannya pada pojok an di sudut rumahnya. Pak Darman pun setiap hari pergi ke sungai atau sesekali ke hutan untuk sekedar mencari bahan makanan. Begitu damai dan romantis kehidupan si Mbok dan si Mbah pada akhir usianya. Si Mbok selalu menyambut kedatangan suaminya itu dengan senyum merekah dan tak pernah sepatah kata pun keluhan pernah keluar dari bibirnya. Apapun yang si Mbah bawa akan selalu disyukuri dan disulap menjadi sajian sederhana nan menggugah selera.

Sampai akhirnya suatu malam, terdengar deru kendaraan dan bunyi sirine yang tiba-tiba parkir tepat di depan gubuk mereka. Beberapa langkah manusia itu, kini memasuki gubuk yang berisi dua sejoli yang sedang menikmati secangkir kopi hasil hutan tadi pagi. Si Mbah memberi isyarat kepada si Mbok untuk tetap diam dan duduk di atas amben (tempat tidur terbuat dari bambu). Mbok Darmi tampak sangat paham apa maksud Mbah, doa-doa tak putus-putus mereka dengungkan dalam hati. Tangan dan kaki mereka yang renta sama sekali tak gemetar, hati mereka tenang dan kalimat ketauhidan tetap membara dalam dada. “Angkat tangan, jangan melawan dan cepat ikut dengan kami” Prajurit bermata sipit itu memberi aba-aba sembari menghunuskan senapan tepat di kening kedua renta. Penjajah memang tak pernah punya rasa welas asih, tawanan yang sudah dua dekade menikmati hidupnya dalam kedamaian itu kini menjadi korban kebengisan perampok kekayaan negara. Merdeka!

#hanyapentigrafbiasa

Andalan

Parit Sempit

foto hanya pemanis

Tak ada yang spesial dalam kehidupan Nanda, gadis berkerudung yang sering duduk di tepi sawah berparas sendu itu. Setiap hari dia dan dua saudaranya membantu neneknya menyirami tanaman, pada sepetak sawah dekat rumahnya. Siang itu udara begitu panas, matahari terasa sangat terik seolah dekat dengan ubun-ubun. Tiga gadis bersaudara itu berniat ke sawah karena tadi pagi nenek berpesan agar melihat cabai yang sudah mulai memerah. Tak banyak kilah , sepulang sekolah, mereka bergegas mengambil topi bambu dan mengayunkan langkah ke arah selatan rumahnya.

Setibanya di tempat tujuan, bertiga langsung melaksanakan tugas masing-masing. Si Mbak mengambil gembor (alat untuk menyiram tanaman yang bentuknya seperti teko terbuat dari seng dan mulutnya banyak lubang tempat keluarnya air). Adik kebagian mencabuti rumput yang tumbuh subur di sela tanaman cabai si mbok, semua rumput dicabut dari akarnya dan dimasukkan parit oleh adik. Nanda yang bertugas memetik cabai yang sudah memerah untuk di masukkan ke wadah. Entah dari mana datangnya tiba-tiba ada suara angin yang terdengar sangat gaduh. Tiga bersaudara itu serentak saling pandang tanpa kata, dan kompak mengernyit tanda keheranan. Semakin lama suara aneh itu terdengar semakin dekat, dalam hitungan detik mereka bertiga sudah berhamburan keluar dari semak-semak tanaman cabai seraya menjerit “Tolong, tolong, tolong”.

Tanpa menghiraukan sekitarnya mereka bertiga berbebar sekuat dan secepat tenaga, meniti pematang sawah yang lumayan sempit siang itu. Betul perkiraan Nanda, bahwa suara itu berasal dari dalam parit. Parit yang biasa digunakan mengambil air untuk menyiram. Adik Nanda yang memang agak bongsor tertinggal di belakang dekat parit, dan “Brukk” suara adik Nanda jatuh terperosok. Dalam sekejap saja gadis bongsor itu lenyap tak kelihatan gerak tangannya yang beberapa detik lalu masih melambai. “Ular itu tampaknya sudah lama kelaparan dan mengincar kalian” ucap sesepuh desa setelah pemakaman jenazah adik Nanda.

#hanyapentigrafbiasa

Andalan

Aku Pengen …

Sore itu udara dingin selepas hujan menusuk kulit ari yang memang diciptakan setipis ini. Jaket besar nan tebal sudah setia dari pagi menyelimuti diri. Sampai akhirnya datang seorang pria muda, bercelana jeans dan bersepatu kets merek Nike (pasti KW) mendadak memarkir motornya di depan teras rumah Nadia. Tak banyak kata, keduanya berpamitan kepada bunda dan diijinkanya mereka berdua melaju di atas roda dua. Bisa dipastikan mereka diguyur hujan deras setelah beberapa menit tak terlihat dari teras rumahnya.

      Sambil berbasah-basahan akhirnya motor itu menepi di sebuah warung bakso di pinggir jalanan menuju puncak kota. Mereka berdua tampak menggigil sembari menggosok-gosok pakaian yang sudah tak ada yang terselamatkan dari derai hujan sepanjang jalanan tadi. Nafas mereka mengeluarkan asap dingin ketika saling bicara, mata mereka entah mengapa tak pernah bertemu walau sudah di depan raga. Saat si Pria melihat netra Nadia, dengan cekatan Nadia menundukkan kepalanya. Begitu juga sebaliknya terus bergantian selama mereka berada di meja makan yang sama, sampai akhirnya kuah bakso terakhir masuk ke dalam mulut Nadia.

“Nadia, ada yang ingin aku bicarakan sore ini” Pria muda itu tampak sangat berhati-hati mengeluarkan butiran katanya sore itu. Si Pria dengan perasaan tak karuan tiba-tiba tangannya basah berkeringat dingin, dadanya sesak seolah berada dalam ruang kedap udara, kakinya gemetar seperti berada pada puncak ketinggian dalam mimpinya, jantungnya berdegup terlalu cepat sampai terdengar ke seluruh pengunjung warung bakso mungil di pinggir kota itu. Setiap malam dia belajar mengucapkan kalimat yang sudah dirancangnya dengan berbagai referensi bacaan tentunya. Sampai akhirnya mereka berdua melihat sepasang suami istri bergandengan tangan melintas tepat di depan wajah mereka. Seketika itu pula sepasang muda-mudi yang sedari tadi tak pernah bertatap akhirnya saling menembus batas pandangan mata sampai ke relung jiwa (mak jleb). Semua kata dan kalimat yang sudah tersusun dan dihafalkan si Pria beberapa minggu ini ambyarr dan tiba-tiba seperti ada yang medorongnya berkata “Aku pengen iso gandengan tangan koyok iku, ayok nang bapakmu?” (nglamar.red)

Malang, 03 Februari 2008

NB. Apakah seperti ini bisa disebut Pentigraf? leave komen ya sahabat.

Andalan

Passion Kok Nyinyir?

View this post on Instagram

✍️

A post shared by Triznie Kurniawan (@triznie.kurniawan) on

sekalian diputar ya quotenya

Tetap menebar kebaikan dimanapun dan kapanpun dalam keadaan apapun.

Sudah menjadi kewajiban kita sesama muslim mengingatkan muslim lainnya. Namun apakah cara kita mengingatkan muslim lain itu sudah manusiawi? Atau malah membuat orang lain menjadi eneg dengan kelakuan kita?

Naudzubillah tsumma naudzubillah,

Sebenarnya manusia itu adalah tempat salah dan dosa, dan tahukah anda sahabat ada orang yang disebut haters? Mereka sama sekali tidak akan pernah melihat kebaikan dalam diri anda bagaimanapun kebaikan anda. Ibaratnya haters itu adalah pengadilan dalam kacamata dan pikiran mereka sendiri.

Saya pribadi berpendapat, bahwa mereka yang selalu berpikiran negatif terhadap seseorang,  hanyalah orang yang sama sekali tidak punya passion lain selain mencari-cari keburukan orang yang sudah sangat dia benci. Di mata mereka bahwa setiap manusia yang pernah melakukan kesalahan adalah bahan yang empuk untuk dijadikan bahan. Baik itu bahan gosip ataupun bahan tulisan, tulisan di sini bisa saja dalam bentuk chat ataupun status  pada media social pribadi mereka.

Apa sih tujuan mereka berbuat seperti itu? Mungkin dengan seperti itu mereka akan menjadi lebih bahagia. Ketika sebuah postingan diluncurkan dengan caption yang lumayan panjang dan content postingannya yang mengarah kepada penghakiman. Di situlah dia akan merasakan kebahagiaan, nah,,, mungkin di situlah passion dia temukan, dari sekedar hobi akhirnya dia menjadi semangat dan terus mengupgrade status-satusnya setiap hari.

Bukan Passion namanya jika tidak menghasilkan keuntungan secara financial dalam kehidupannya. Jadi ada juga seseorang yang pekerjaan awalnya hanya mengomentari kehidupan orang lain, yang ujung-ujungnya dia mempromosikan produk-produknya. Nah, itu namanya sambil menyelam minum madu alias sambil menghakimi seseorang dan menghasut dia mempromosikan dagangan. Keren nih orang-orang kaya gini.

Baiklah sekarang saya paham dengan beberapa jenis manusia yang seperti ini. Jadi dia mengambil keuntungan dari ketenaran seseorang dan mencoba menjelek-jelekkan akhirnya dibaca khalayak namun di akhir captionnya dia berdagang. Jadi alasannya adalah dia berdagang sekaligus menghakimi orang. Pinter banget dah berkilah.

Sahabat yang sangat saya banggakan, jangan “Baper” dengan status orang-orang yang kelihatan bahagia dengan kehidupannya dan keluarganya. Janganlah iri melihat pasangan yang menunjukkan kekompakannya, toh anda juga tak pernah tahu berapa gunung dan jurang yang sudah mereka lewati? Berapa samudra yang sudah mereka seberangi? Berapa kali badai yang mampu mereka terjang?

Jadi, jadilah manusia yang selalu positif dan tetap memberikan maaf kepada semua orang yang pernah melakukan kesalahan. Apalagi jika seseorang itu tak pernah menyalahi hidup anda. Hati-hati dengan doa orang yang sudah bertaubat, karena ketika anda terus nyinyiri kehidupan mereka, bukan mereka yang akan membalas kenyinyiran anda. Allah sang Maha dari  Segala Maha yang akan membereskannya.

So, bijaklah bermedia social.

Bangkalan, 06 Juli 2020.

Bangkalan, 06 Juli 2020.

Andalan

Harapan Ibu dan Ayah

Assalamualaikum,

Selamat pagi Sahabat, semoga pagi ini kita semua berada dalam keberkahan rezeki dan kesehatan. Semoga segala yang kita harapkan pagi ini dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Pemberi.

Sahabat, pagi yang berhias cahaya lembut ini semakin membuat saya merasa beruntung, iya karena hari ini saya khususnya masih diberikan kesehatan yang luar biasa. Buktinya saya masih bisa menjentikkan jari-jari ini di atas papan hitam kesayangan.

Selain itu, pagi ini merupakan pagi yang luar biasa yang layak saya syukuri. Karena pagi ini saya, suami, anak-anak saya, keluarga besar serta teman-teman saya masih dapat melakukan kegiatan seperti biasanya. Tetap semangat dan selalu menebarkan pikiran positif kepada sekitar agar energi positif kembali pada diri.

Mencoba menyusun kembali mozaik yang terbengkalai, mozaik rindu kami berempat yang sempat terhenti. Menunggu detik-detik new normal pada masa ini sungguh mengasyikkan. Ya Tuhan, saya merasa sangat egois kali ini. Mengapa saya selalu bercerita tentang kehidupan pesisir? Kok yang dibahas selalu Pesisir sih? ya karena sekarang itulah kehidupan yang paling dekat dengan kami.

Sebenarnya, saya sangat malu jika harus beradu argumen dengan teman-teman senior dalam dunia kepenulisan. Karena saya sadar kemampuan dan keterampilan menulis saya yang sangat masih di bawah standar. Bahkan kosa kata baku saja saya masih sangat minim pengetahuan. Namun saya punya semangat dan didukung oleh Pak Suami yang tak pernah komplain dengan kegiatan menulis saya.

Ya seperti inilah kemampuan menulis saya, saya belum mahir membuat puisi, ataupun cerita seperti dalam novel. Tetapi saya sangat ingin belajar dan sekarang masih dalam proses belajar tentunya. Karena sejatinya hidup adalah mozaik pembelajaran yang harus kita susun dan satukan agar menjadi sebuah keindahan.

Sahabat, banyak sekali rencana-rencana kecil yang sudah kita susun dengan seksama selama ini. Namun kadang malah banyak yang tidak terlaksana alias gagal. Seperti sebuah quote atau kata bijak yang saya dapat dalam sebuah grup kepenulisan KALIMAT, Mr. IT dalam quotenya menulis “Gagal merencanakan sesuatu sama halnya gagal menuainya di kemudian hari” kurang lebih seperti itu atau mungkin saya yang salah mengingatnya. Intinya, sebuah rencana yang matang akan berdampak besar pada hasil akhir.

Seperti beberapa mozaik rencana keluarga kecil kami, walaupun banyak yang belum terpasang dengan baik dalam bingkai pigura namun usaha dan semangat tetaplah harus terus berkobar. Sudah lebih dari satu dekade kami menunggu sesuatu yang mungkin sepele untuk beberapa orang. Atau mungkin juga masih banyak orang lain yang juga sama dengan kami, yaitu ingin hidup normal seperti keluarga kecil lainnya. Kenormalan yang saya maksud di sini adalah kegiatan yang wajar dilakukan sebuah keluarga kecil. Bagi kami, hidup seatap dengan keluarga inti adalah impian buat kami.

Sepuluh tahun lebih bergelut dengan dunia virtual, daring dan luring mengarungi bahtera rumah tangga. Mempertahankan dan menjaga kebahagiaan keluarga dengan segala usahanya, sungguh bukanlah hal yang mudah bagi kami terlebih saya dan suami. Di tengah semakin merajalelanya dunia maya serta godaan setan yang selalu ingin menghancurkan kebahagiaan sebuah keluarga.

Akhirnya kami berdua sampai juga di tahun 2020 ini. Tahun spesial, tahun penuh ujian dan cobaan atau malah hukuman. Entahlah yang pasti kami sangat bersyukur bisa sampai di titik ini. Sebuah titik balik dimana kami berdua mengingat segala kenangan bersama. Suka duka serta perjuangan dan doa yang tak pernah henti kami ucapkan. Syukur kepada Tuhan yang sampai detik ini saya dan keluarga kecil saya ini masih dalam keadaan utuh saling menjaga dan mencintai.

Harapan kami hanyalah satu, bahagia di dunia dan juga bahagia bersama di akhirat kelak. Simple dan berat pastinya. Kami ingin kedua buah hati kami menjadi mujahid yang selalu berada dalam lindungan Allah. Karena kebahagiaan di dunia itu banyak sekali cabangnya, kebahagiaan akhiratlah yang seharusnya kami persiapkan. Karena ketika akhirat kita matang maka dunia akan mengalir mengikuti akhiratnya. Kata guru ngaji saya seperti itu, atau saya sering baca imbauan seperti itu di sosial media.

Andalan

Penilaian Manusia

Assalamualaikum Wr. Wb

Hembusan angin sore di tepi pantai ini mengingatkan saya akan tempat mengajar yang sudah hampir tiga bulan tak lagi kupijak. Desiran ombak serta hiruk pikuk nelayan tak lagi sering kudengar. Merindukan pesisir disana? Oh tidak, sekelebat saja saya berpikir tentang hidup disana lagi, bukan karena tidak suka. Hanya saja saya sedang menikmati anugerah Tuhan disini, di pesisir sebelah sini. Bangkalan, merupakan kota kecil dengan sejuta kenangannya terutama saya dan belahan jiwa saya.

Seolah enggan dan ogah saya kembali ke pesisir tempat bertugas. Terlalu engap dengan kesendirian, bersama dua malaikat kecil kami. Setiap jumat menunggu di depan pintu. Berharap deru sepeda motor itu adalah kamu, suamiku. Romantika merantau di daerah pesisir dengan status Long Distance Relationship alias berjauh-jauhan membuat kami menikmati apa yang sekarang sedang terjadi. Egois ya? Iya sedikit egois memang. Saya bahagia di atas penderitaan orang lain.

Bukan sepenuhnya seperti itu, sejak diumumkannya status zona merah di daerah kami, saya beserta kedua anak saya dibawa pulang kampung ke kota sebelah. Alasannya adalah, selain saya harus mengajar secara daring, saya juga harus tetap melindungi anak saya serta suami saya agar tetap bisa bertatap muka. Tidak dipungkiri bahwa ketat sekali penanggualangan COVID-19 di desa kami ini. Suami saya harus berkali-kali dicek dan harus ditanya-tanyai dari mana dan kemana.

Untuk menghindari hal itu, kami memutuskan hijrah ke kota sebelah. Beberapa hari sebelum zona merah kami memang bertahan di pesisir itu karena berharap wabah akan segera usai. Namun? Bukannya usai malah menjadi-jadi. Bahkan sampai detik ini, detik saya menceritakan kisah ini.

Baiklah, tahukah apa yang kami lakukan ketika kami pergi ke kota sebelah yang berjarak sekitar 70 kilometer ini?

Pagi itu, kami berempat menyiapkan segala keperluan dalam perjalanan pulang. Rencana kami hanya dua minggu saja berada disini, sesuai himbauan dinas pendidikan kami akan sekolah daring selama dua minggu. Tak banyak yang kami bawa, hanya beberapa baju ganti dan sedikit oleh-oleh untuk keluarga disini, ikan dan cumi yang merupakan komoditas utama pesisir.

Suami saya memanasi kendaraan dan akhirnya kami menitipkan rumah kontrakan kepada pengasuh anak kami yang kecil, dengan berkaca-kaca beliau melihat kami pergi dari gang sempit itu. Tak menyangka sama sekali jika perpisahan kala itu akan menjadi panjang sampai sekarang.

Kami masing-masing menaiki kendaraan bermotor, artinya saya memakai motor matic saya dengan membonceng anak laki-laki saya. Suami saya mengendarai motornya bersama putri kami. Tak ada halangan yang berarti kala itu, jujur saja saya baru pertama kali melakukan perjalanan bersepeda motor sejauh itu sendiri. Biasanya kan saya selalu dibonceng suami, kebetulan di rumah sudah ada beberapa saudara yang juga datang. Ramai sekali suasana rumah menyambut kedatangan kami. Gelak tawa memenuhi ruangan ketika kami bercengkerama di ruang belakang itu. Sungguh siapa yang menyangka kejadian itu adalah awal mula saya dan kedua anak saya menikmati liburan panjang sepanjang hidup.

Ada beberapa kejadian besar yang saya alami selama berada disini. Termasuk gugurnya janin yang saya kandung, iya memang benar banyak hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil setiap harinya. Tidak harus dari kita, namun peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar adalah lebih dari cukup untuk kita ambil hikmah.

Tahukah sahabat, saya sangat menikmati hidup seperti ini. Sesuatu yang kami impikan yaitu bisa hidup bersama selalu. Menunggunya pulang kerja, mengurusi segala kebutuhannya, dari bangun subuh sampai ia memajamkan matanya pada malam hari. Sungguh nikmat mana lagi yang bisa saya dustakan? Menjadi istri yang sebenar-benarnya. Kesempatan yang tidak akan saya sia-siakan.

Terserah orang di luar sana yang membicarakan saya habis-habisan, menilai saya dengan kacamata mereka, dengan telinga mereka, saya tidak akan menuntut mereka. Toh mereka yang berbicara jelek tentang saya bukanlah sahabat apalagi teman saya. Mereka hanyalah orang asing yang tak pernah sebentarpun saya berbicara langsung. Mungkin dia pernah bertemu saya atau hanya sedikit tahu tentang saya yang jelas saya sama sekali tak pernah mengenalnya. Eh kok malah melenceng jauh sih ceritnya? ups.

Sahabat sekalian, di dunia ini sejatinya adalah suka dan tidak suka, namun apalah artinya like and dislike mereka terhadap kita? Selama kita masih berada dalam koridor yang benar dan tidak mencemarkan nama baik orang ataupun instansi apalagi agama. Its ok buat saya, selama kita masih diberikan kesehatan dan kebahagiaan bersama keluarga.

Sudah cukup hanya itu saja, buat apa sih kita sok-sok an menilai tingkah laku orang lain ketika kita sendiri masih jauh dari kata sempurna? yang berhak menilai manusia hanyalah Tuhan Nya dan kita sebagai hamba yang hina dina penuh dosa ini tak pantas menilai apalagi menghakimi seseorang yang bahkan anda sendiri tak mengenalnya. Tak adil bukan?

Hidup itu penuh perjuangan jika kita memaknai dalam-dalam. Bagaimana kita bisa memaknai hidup kita jika kita sendiri sibuk menilai orang lain? No no no, saya sama sekali tak percaya dengan tabiat seperti ini. Apa yang keluar dari mulutmu adalah isi dalam hatimu, ungkapan lama yang sekarang sering keluar itupun masih layak saya pakai. Walaupun ada beberapa orang yang tak lagi percaya, kecuali jika yang ditampilkan baik namun aslinya kotor itu artinya munafik. Namun berhakkah kita sebagai hamba yang juga punya masa kelam menghakimi seseorang serta merta saja? Tidak adil dan sama sekali tidak bijak sahabatku.

Ada memang dalam hadist disebutkan ciri-ciri orang munafik, tetapi apakah dengan sepenggal hadist itu anda berhak memberikan predikat munafik  kepada seseorang yang bahkan orang itu sama sekali tak mengenal anda?

Dunia ini kejam sahabat, dunia maya lebih kejam lagi. Hanya bermodal jari dan sedikit pulsa anda bisa menghancurkan perasaan oranglain, bahkan anda dapat membunuh seseorang melalui tulisan anda itu. Berhati-hatilah dalam menulis sebuah postingan ataupun nasehat di sosial media anda.

Seolah memberikan nasehat panjang lebar anda akan dianggap orang baik dan suci? Dengan menjelek-jelekkan orang lain? Hello, ini sudah bukan lagi zaman kuno sahabat. Ini zaman sudah revolusi industri 4.0 hampir 4.1 lah sekarang. Bukankah istri Abu Lahab sudah tiada? Mengapa masih bertebaran tulisan-tulisan ujaran kebencian terhadap sesama? Memprihatinkan sekali ketika tahu penulis itu adalah seorang yang sudah mempunyai sebuah buku solo. Tenang sahabat bukan anda, bukan, jangan merasa tersindir.

Tak lagi zaman orang menghasut khalayak di beranda sosial media. Bukan respon positif tentunya yang akan anda tuai, melainkan rasa eneg melihat postingan anda yang sok bijak. Anda ingin terlihat baik dengan menjelekkan oranglain? Oh no, mungkin anda harus sedikit jauh ya berpiknik. Ke luar angkasa saja, disana akan anda temui makhluk luar angkasa yang mungkin sejenis dan sepaham dengan anda.

Tetaplah bersyukur dengan segala keadaan anda saat ini, keluarga kecil yang anda miliki adalah dambaan mereka yang belum berkeluarga. Anak-anak yang rewel saat ini adalah dambaan mereka yang sampai saat ini berjuang mendapatkannya. kesehatan yang anda miliki saat ini adalah dambaan setiap orang yang sedang terbaring tak berdaya. Serta rumah kecil yang anda miliki saat ini merupakan impian bagi mereka yang tidur di kolong jembatan. Bersyukurlah atas segala nikmat yang telah dianugerahkan kepada anda. Maka Tuhan akan menambah dan terus menambah nikmat anda. Tak perlu Anda membandingkan kehidupan Anda dengan orang lain karena mentari akan selalu terbit pada waktu yang tepat.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bangkalan, 23 Juni 2020

Andalan

Arti Sahabat

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Selamat pagi dan semoga semua yang membaca tulisan ini selalu dalam keadaan penuh berkah dan rahmat dari Allah.

Sengaja pagi ini saya menulis sesuatu untuk khalayak, ya untuk umum karena setelah saya menulis pasti akan saya posting di blog saya atau saya kirim ke komunitas menulis saya.

Menebar kebaikan, menebar benih positif dalam diri agar lingkungan sekitar merasakan bagaimana energi menulis itu memang kuat dan berpengaruh besar dalam megarahkan cara berpikir.

Pernahkah sahabat semua membaca sebuah kata bijak, kamu adalah apa yang kamu baca. Benar adanya bahwa apa yang kita baca setiap hari akan membawa energi tersendiri bagi kita. Apa yang kita baca setiap hari akan membuat pola pikir kita lebih kompleks dan punya banyak cabang, bahkan bisa membuat pola pikir kita berubah.

Saya sebenarnya tidak tahu apa yang mau saya tulis hari ini, tetapi rasa malu dalam diri, mengapa saya sangat malas menjentikkan jari-jari ini lagi di atas papan ketik laptop? Pertanyaan itu membuat saya semakin hari semakin tahu bahwa apa yang kita baca setiap hari sangat berpengaruh dalam hidup kita.

Bagaimana saya tidak merasa rugi, jika setiap hari komunitas menulis saya menyajikan santapan lezat nan penuh gizi bagi perkembangan keterampilan menulis saya. Namun saya? ya hanya begini-begini saja tidak ada perkembangan berarti apalagi menghasilkan sesuatu yang bergizi. Malu sekali diri ini melihat semua sahabat KALIMAT penuh semangat setiap hari melahirkan tulisan-tulisan yang berbobot.

Pembina yang sekaligus guru kami Ustad Cahyadi Takariawan yang dengan sabar selalu mengikuti kerempongan kami, tak pernah jera selalu memberikan masukan dan dukungan positif demi berkembangnya komunitas kami yang penuh semangat ini.

Begitupula dengan para pengurus KALIMAT yang selalu sibuk di dapur KALIMAT, padahal kami tahu masing-masing kami punya seabrek kewajiban yang utama di lain sisi. Tetapi saya kadang heran, ini komunitas luar biasa semakin hari semakin banyak tujuan yang jelas, semakin ada sesuatu yang bisa dibilang bermanfaat, ya iyalah tentu saja bermanfaat. Beruntung sekali lagi saya bergumam dalam hati, bisa tergabung dalam komunitas kecil yang insyaAllah akan membesar pada waktunya. Karena tujuan utama kami sebenarnya hanya menjadikan penulis Indonesia lebih bermartabat.

Banyak pelajaran yang didapat disini, dari dasar-dasar kepenulisan, proses cetak buku ISBN, kepedulian social, agama, budaya, bahkan teknologi, lengkap deh pokoknya.

Semua yang tergabung dalam komunitas ini sudah seperti keluarga besar yang saling menghargai dan setiap saya membaca chat dalam grup selalu saya akhiri dengan senyum-senyum sendiri. Rasa syukur dalam hati ketika lingkungan sekitar sedang menguji, ternyata banyak lingkungan lain yang selalu memotivasi diri. Tidak selalu dunia maya itu berdampak negatif bagi diri, bahkan lebih banyak dampak positif ketika kita mau mencari dan menanggapi dengan hati-hati.

Ketika satu masalah selesai, mengapa selalu lahir masalah baru yang lain dalam kehidupan manusia? Setiap manusia mempunyai passion dan masalah yang kompleks yang tentu saja sangat berbeda satu sama lainnya. Dengan adanya beberapa teman kita tahu bahwa teman adalah saudara kita walau tak dilahirkan dari rahim yang sama.

Berbicara tentang pertemanan dan persahabatan, saya adalah orang yang senang berteman dengan siapa saja asalkan masih dalam koridor dan tata karma pertemanan. Karena saya sadar bahwa saya adalah seorang wanita yang tentu saja saya tidak bebas berteman terutama dengan lawan jenis saya. Saya menghargai dan menghormati sekaligus menyayangi imam saya yang selalu mengingatkan bahwa hati-hati jika berteman dengan seseorang Karena kadang kita tidak tahu apakah dia benar-benar tulus berteman atau hanya kepo alias ingin tahu kelemahan kita saja.

Banyak teman, banyak kenalan, semakin mudah kita menyelesaikan masalah kehidupan kita sehari-hari, walaupun setiap teman punya cara sendiri dalam menanggapi masalah.

Semakin kesini, semakin usia berkurang namun angka bertambah banyak, saya semakin tahu diri dan paham bahwa tidak semua teman itu bisa jadi sahabat apalagi saudara. Ya, karena semakin hari saya semakin tahu, mana teman yang memang benar-benar peduli atau teman yang hanya basa-basi saja peduli.

Terbukti ketika kita sedang banyak masalah kehidupan, kita lihat berapa teman atau sahabat kita yang masih ada setia membantu dengan tulus ikhlas tanpa pamrih di samping kita. Walau kita tidak boleh langsung mengadili setiap teman yang tidak bisa menolong adalah teman yang egois, bukan begitu, karena setiap orang juga punya permasalahan sendiri-sendiri yang harus mereka atasi.

Banyak sekali teman yang hanya datang ketika butuh bantuan kita, tetapi saya bersyukur, itu artinya saya masih bermanfaat untuk oranglain. Namun tak sedikit pula teman yang malah berkacak pinggang dan membusungkan dada ketika kita tenggelam dalam suatu permasalahan.

Bermacam sifat teman ada di sekeliling kita, banyak orang dengan berbagai tujuan mendekati kita. Sekarang hanya satu yang bisa mengendalikan kita dalam bersikap, ya kita sendiri. Jangan terpengaruh dengan penilaian orang sekitar yang mereka sebut teman namun menjelek-jelekkan kita di belakang. Sudah itu semua adalah hal yang sama sekali tidak penting untuk kita pikirkan, toh masih ada beribu teman dan berjuta orang baik lainnya di dunia. Kalaupun semua manusia sudah tidak lagi berada di pihak kita, tenangkan hati bahwa kita masih punya Allah Azza Wajalla pemberi segala.

Bagi saya sekarang, tidaklah penting penilaian manusia yang terpenting adalah penilaian Allah terhadap dirikita. Toh sesungguhnya kita memanglah hanya seorang hamba yang tugasnya hanya untuk beribadah dan menyembah NYA saja.

Tulisan ini sepertinya ditulis dengan penuh emosi namun saya tetap sadar diri siapa saya. Hanyalah ikan kecil yang terjebak di antara jaring-jaring nelayan, bertahan terlalu menyakitkan, mencoba keluar di ambang kematian. Namun saya yakin Allah punya skenario indah di balik segala yang menimpa.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Pesisir Madura, 16 Juni 2020

Andalan

TRINIL (Burung pesisir yang lincah) Nama Kecil RA. Kartini

Bangkalan, Rabu 22 April 2020.

Vide hanya sebagai pemanis buatan,
Sebelum Baca klik video deh biar tambah sedep bacanya🤭🙏📹

Kemarin adalah hari dimana semua orang ingat bahwa 21 April adalah peringatan Hari Kartini. Yes, Kartini merupakan sosok yang sangat familiar terdengar di telinga. Bahkan anak saya yang masih TK sudah sangat hafal lirik lagunya meskipun sebatas tahu liriknya. Belum Memahami makna tersirat dalam lagu merdu Kartini tersebut.

Semasa masih SD Saya pun sering mendengar kisah dan lagu Kartini dari guru, ibu, mbak yu, teman sebaya, juga dari televisi yang saya lihat di rumah tetangga. Kartini seorang wanita yang intinya berbeda, beliau tidak mau menjadi wanita biasa yang tak berilmu. Sungguh mengagumkan, dibalik tulisan-tulisannya dia dapat mengubah dunia sekitarnya. Dengan sepak terjangnya bersama RA. Kardinah dan RA. Rukmini beliau bertiga dijuluki sebagai semanggi yang selalu kompak, membuat masyarakat sekitar kembali menjalankan kehidupan yang normal dan mendapat penhasilan dengan ukiran kayu Jepara hasil desain dari RA. Kardinah. Yang kita tahu sampai sekarangpun ukiran Jepara sudah mendunia.

Kisah Kartini merupakan salah satu kisah inspiratif yang sangat saya suka, why? ya karena beliau memperjuangkan hak wanita dan juga mencoba mendobrak tradisi yang kolot dan salah tentang perempuan hanya dengan tulisan. Disinilah kita bisa ambil pelajaran betapa kekuatan tulisan sangat tajam dan Mengenal. Bukan penduduk pribumi yang memuja tulisannya, namun penjajah Belanda, disinilah kita tahu tulisan adalah salah satu cara agar kita dikenal dan dikenang sepanjang masa. Bukan karena fisik kita melainkan karena pemikiran-pemikiran kita. Sungguh sangat menarik kisah hidup Raden Ajeng Kartini.

Menjadi wanita cerdas dan berkarakter itu wajib bagi kaum hawa, karena kita adalah madrasah pertama bagi anak-anak kita. Bagaimana kita mencerdaskan anak bangsa jika kita sendiri sangat miskin pengetahuan. Walaupun ilmu pengetahuan bukanlah segalanya, karena keseimbangan akhlak dan adab adalah yang paling utama.

Judul yang saya ambil adalah nama kecil RA. Kartini yaitu TRINIL, yang artinya seekor burung pesisir yang lincah. Bagaimana saya tidak terkagum-kagum akan kecerdasan beliau dan kelincahan beliau. Ketika digambarkan sebagai seorang wanita yang anggun dan rupawan namun sangat beradab dan menjunjung tinggi martabat perempuan. Trinil lahir dengan keingintahuan yang sangat luar biasa, dia ingin bisa belajar berbahasa dan membaca. Trinil lincah dan tidak ingin menjadi bodoh, Trinil ingin mencerdaskan anak bangsa. Sebelum akhirnya beliau mendirikan sebuah sekolah atas dukungan suaminya, Bupati Rembang. Semua diawali dari sebuah surat dalam Al Quran, ia menandakan tafsir ummul quro Yaitu surat Al Fatihah. Juga buku-buku pemberian sahabatnya yang dia baca sebagai jendela dunia, sebagai jendela untuk melihat betapa dunia ini sangat luar biasa.

Ketika kita dituntut untuk membaca dan membaca, membaca keadaan, membaca situasi, membaca diri sendiri, sesuatu yang mudah diucapkan namun sangat sulit dilakukan. Lebih sering berbicara namun sedikit berkarya, kadang hidup kita membutuhkan sesuatu yang berbeda, sebuah ketidakbiasaan yang baik. Misalnya, ketika semua emak-emak sibuk mantengin drama korea yang lagi viral, namun saya tidak, bukan saya tidak pernah menonton. Bahkan saya dahulu adalah penggemar berat drakor waktu masih khilaf. Namun sekarang? kita tidak perlu juga ikut-ikutan hanya agar dibilang ngehits dan populer. Kita bisa saja berbeda dengan mereka, seperti memperbanyak asupan bacaan, dengan membaca beberapa artikel misalnya. Seperti yang saya dapat dalam sebuah grup WA bersama teman-teman Kalimat dan gurunda Cahyadi Takariawan beserta Ummi Ida Nurlaela yang sangat luar biasa menginspirasi. Selalu memberikan sinyal positif yang membuat kami tetap ingat akan dunia literasi ditengah pandemi.

Slogan yang membuat orang kadang salah mengartikan. Masa iya ada membaca tetapi merusak, yuhuuu ini merusak kebodohan ya bu ibu, bukan merusak moral. Tidak semua yang merusak itu tidak baik, seperti yang satu ini merusak kebodohan. Artinya merusak kebodohan adalah menciptakan kecerdasan. Kadang pembaca poster hanya sekedar membaca tanpa memahami makna.

Kembali ke Hari Kartini, menurut banyak orang awam, sama sih saya dulu juga malah primitif banget. Menurut mayoritas perempuan peringatan Hari Kartini adalah memakai kebaya dan berfoto kemudian upload sosmed, anak kecil unyu-unyu didandanin pakai kebaya modern dan bergaya centil nan lucu. Memang cara mengungkapkan rasa bangga dalam memperingati jasa boleh-boleh saja seperti itu, ini bukan berarti saya tidak setuju ada karnavalan Kartini’s Day gitu ya, maksud saya di sini adalah kalau saya pribadi lebih suka memberikan apresiasi atas pemikiran-pemikiran RA. Kartini yang luar biasa sekali. Bayangkan saja di zaman penjajahan yang sangat terkukung adat istiadat kala itu, beliau melihat dunia dengan membaca dan tentunya berusaha mengubah dunia gelap menjadi lebih terang dengan tulisan-tulisannya.

Seolah mengiyakan isi dalam Al Quran disebutkan pada QS. Al Baqarah: 257 yaitu terdapat kalimat MInadzulumati Ilan Nur tentu saja artinya Dari kegelapan menuju cahaya. Seperti itulah sebuah Din yaitu agama Islam datang membawa sebuah cahaya yang menerangi seluruh alam. Bahkan pertama kali wahyu Allah tersebut diturunkan menggunakan kata “iqra” yang artinya kita tahu semua yaitu bacalah. Luar biasa bukan Allah memberikan petunjuk kepada manusia paling mulia Nabi Muhammad SAW dengan perintah Bacalah! yaitu membaca, membaca, dan membaca. Pada masa yang jauh sebelum peradaban bangsa lain lahir, Kita sudah diberikan penjelasan bahwa literasi sudah ditanamkan dan diperkenalkan kepada umat manusia.

“Orang luar biasa itu sederhana dalam ucapan tetapi hebat dalam tindakan”_

Triznie.kurniawan/PulauGaram

Andalan

Menghidupkan Literasi Baca Tulis di Tengah Pandemi Corona

Di tengah merebaknya pandemi COVID-19 yang membahana ini, seluruh kegiatan sekolah sudah hampir dua minggu dilakukan secara daring. Hal ini menunjukkan bahwa wabah Corona bukanlah sekedar wabah dongeng isapan jempol belaka. Ya iyalah lha kalau hanya isapan jempol tidak akan sampai turun beberapa surat keputusan menteri, gubernur, sampai surat keputusan kepala daerah kabupaten atau kota untuk meliburkan siswa sekolah namun tetap belajar dari rumah masing-masing.

Nah lo, daripada sibuk cuma mantengin beranda sosial media, tentunya setelah melakukan kegiatan daring bersama siswa. Kegiatan yang jauh lebih asyik dan bermanfaat adalah kita ngeblog aja. Sempat terbesit nulis di blog udah lama juga, sejak perbincangan di grup whatsapp penulis KALIMAT merebak, sepertinya teman-teman mulai gencar lagi nulis di blog. Tetapi karena kesibukan saya yang alhamdulillah padat dan berisi banget, tertundalah niat-niat baik saya untuk nulis di blog. Alhamdulillah sekarang tersampaikan juga hasrat terpendam itu.

Eh, kembali ke topik awal ya. Banyak lo ternyata teman-teman guru yang mulai mengalami kegabutan luar biasa di tengah WFH ini. Berbagai tanggapan dan cerita yang tersampaikan kepada saya adalah salah satunya, Kata mereka ada yang cuma guling-guling di kasur aja setelah tugas utama selesai. Ada juga yang sampai ngepel lantai pakai daster kesayangan alias tiduran di lantai. Ada juga yang mendadak jadi cheff handal, tidak sedikit pula yang mendadak jadi tukang incip makanan. Terus ada yang mendadak jadi penjahat eh bukan penjahit profesional, ada yang mendadak jadi petani alias berkebun, ada yang kreatif juga membuka kelas online, dengan orang-orang baru seperti pelatihan membuat blog , duh kalau yang ini bermanfaat banget ya.

Berbagai macam kegiatan itu tampaknya belum cukup mengembalikan pikiran mereka yang WFH nya ditambah seminggu lagi.

Begitupun dengan saya, akhirnya beberapa kegiatan yang saya jadwalkan dan rutinkan selain pekerjaan utama sebagai istri , ibu rumah tangga dan seorang guru. Saya membiasakan sehari membaca satu buku bacaan entah itu buku ilmiah ataupun novel atau sekedar buku anak. Eh iya sampai lupa kemarin tanggal 2 April adalah Hari Buku Anak Nasional loh, jadi kemarin jadwalnya bacain buku buat si kecil. Pokoknya membaca dan membaca, mulai membaca buku-buku lama yang sudah pernah terbeli dan belum sempat dijamah sampai membaca buku elektronik di aplikasi baca buku. Hal itu pula yang membuat saya merasa akhir-akhir ini jadi agak lebih sensitif dan melankolis, karena bacaan yang saya baca lebih ke kisah-kisah pernikahan dan kisah-kisah LDR romantis dan alay. wkwkwkwk. Jadi makin gabut dan alay dah.

Namun apalah daya, mata tak bisa kompromi juga jika terlalu lama membaca. Akhirnya salah satu kegiatan saya adalah menulis puisi, membuat quotes, dan beberapa video dari aplikasi gawai yang ada. Sedikitbanyak akan membuat kita lebih produktif dan bermanfaat untuk orang-orang disekitar kita.

Satu lagi yang tidak kalah penting tetap waspada tetapi jangan terlalu panik. tetap waspada dan melakukan langkah preventif, tetap menjaga physical Distancing dan jangan lupa ibadah. menjaga diri dan keluarga serta tetap stay at home alias dirumah aja. oke readers?

Setidaknya kegiatan yang dilakukan lebih positif jika dibandingkan dengan kegiatan rebahan dan melantai berjamaah. semoga menginspirasi ya readers.

Triznie.kurniawan di antara awan mendung yang mulai menggelayut mesra.

Petualangan Anak Pesisir #2

“Sebenarnya kami adalah anak pantai yang lari dari kejaran petinggi sekolah kami” jawab anak laki-laki hitam yang akhirnya kuketahui namanya adalah Sura. 

    Setelah bercerita lama, akhirnya aku tahu mereka adalah segelintir korban dari kerasnya pendidikan di seberang pulau yang kadang tak pernah dihiraukan. Seusia mereka saja, mereka berani hijrah dari kampung halaman dan akhirnya tersesat di tengah hutan ini. Bukanlah suatu yang langka, mugkin nanti, ketika pendidikan sudah tak lagi mementingkan esensi dari produk yang dihasilkan. Ketika pendidikan dijadikan suatu perdagangan dan bisnis yang menjanjikan. Mereka hanya memikirkan materi dan materi apa yang akan didapatkan ketika mencetak para juara, yang kebanyakan tak banyak bicara di dunia nyata.

    Lea adalah gadis cerdas, pintar, cerdik, lincah, penuh strategi dan cantik. Tetapi apa yang bisa membuatnya menjadi pemberontak zaman? bukankah keempat anak itu harusnya berada di bawah pengawasan kasih sayang?

    Setelah semalam mereka bermalam bersamaku di gubuk reyot jerami di tengah hutan ini, akhirnya aku menyadari betapa mereka sangat menginginkan perubahan. Mereka adalah generasi emas yang hanya ingin ibu pertiwi bangga akan pesona mereka. Lea menunjukkan ketertarikan sangat kuat ketika berbincang denganku tentang pendidikan di akhir zaman. Dia sangat cerdas bahkan belum pernah aku menemui gadis seumuran Lea, sekitar 10 tahunan memiliki pemikiran yang lebih matang dari aku yang 3 kali usianya.

“Pendidikan bukanlah semata mencetak pekerja”

   Pagi itu, matahari mulai menerobos tumpukan jerami di gubuk kami. Keempat anak itu sudah bersiap melanjutkan perjalanan mereka, mereka akan pergi ke kota bersama. Tentu saja aku ikut bersama mereka, sepertinya petualangan mereka akan sangat menyenangkan. Tadi malam ketua rombongan kecil itu sudah mendaulatku sebagai penunjuk arah di kota ini. Berbekal pengetahuan dasar selama ini, aku rasa mudah sekali mengantarkan mereka kembali ke pulau seberang. Namun, biarlah mereka berpetualang sedikit, di kota ini. Biarkan mereka mewarnai cerita perjalanan yang mungkin takkan terulang.

Bersambung…..

Petualangan anak Pesisir #1

Siang itu, segerombolan anak kecil tergopoh-gopoh melewati sebuah sungai jernih di atas bukit. Ada empat anak masih memakai seragam sekolah warna putih bersih dengan menenteng sepatu penuh lumpur dikedua tangannya. Tampaknya mereka kebingungan mencari jalan pulang. Seorang anak perempuan kecil bermata sipit berambut lurus berada di barisan paling depan. Seolah sedang berekspedisi, gadis kecil itu memberikan isyarat kepada teman-temannya yang mengikutinya dari belakang dengan wajah kebingungan. 

    Aku melihat mereka asyik beradu mulut dengan gadis kecil itu. “Lea… apa iya kita gak akan tersesat?” teriak seorang anak dari belakang. Agaknya Lea adalah ketua rombongan siswa yang tersesat itu. 

    Sampai matahari menampakkan cahaya redupnya sore itu, tetapi keempat anak itu masih terduduk di tepi tebing dikelilingi sayur kol yang menghijau. Mereka menahan lapar dan haus dari siang, karena tidak tega melihat mereka berempat maka aku hampiri mereka dengan membawa sedikit bekal yang disiapkan ibu dari rumah.

    “Kalian berempat tampaknya adalah para petualang? aku sama sekali tak pernah melihat wajah-wajah kalian” tanyaku seraya duduk di sebelah anak laki-laki hitam berambut ikal yang duduk ditepian tebing itu.  

“Sebenarnya kami adalah anak pantai yang lari dari kejaran petinggi sekolah kami” jawab anak laki-laki hitam yang akhirnya kuketahui namanya adalah Sura. 

Bersambung…

Titik Balik

Halaman sekolah pesisir

Lantunan tarhim dari masjid di tepi selat ini sayup sudah terdengar. Membuat mata mulai sedikit mengintip keadaan. Lambat laun semakin jelas sampai ke indera pendengaran dalam suasana dingin nan syahdu lengkap dengan gemericik air langit yang telah turun semalaman. Sungguh suasana subuh yang menenangkan. Disertai sapuan angin laut yang kencang dan suara ombak berdeburan. Menambah rasa tak ingin beranjak dari peraduan malam.

Teringat sesuatu bahwa pagi ini adalah pagi dimana hal baru harus mulai dijalani lagi. Kehidupan harus terus dilalui, begitu pula Jumat tepat 20 Mei 2022 ini. Sebuah hari peringatan kebangkitan bangsa. Kebangkitan yang berasal dari kesadaran diri akan kodrat bangsa yang seharusnya merdeka. Puluhan tahun lalu itulah menjadi sebuah titik balik bangsa tercinta menjadi sebuah bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur. 

Jika kita menilik ke  sebuah sejarah masa lalu. Kisah perjuangan baik secara diplomatik maupun angkat senjata, tampak sangat berbeda dengan apa yang terjadi setelah puluhan tahun kita merdeka. Bukan karena penjajah yang masih berkeliaran dan menyiksa fisik kita, bukan pula krisis pangan yang kian melanda. Sebuah krisis mental dan penurunan kualitas karakter bangsa yang patut kita tangisi. Lha kok bisa? 

Lihat saja betapa bangsa ini sedang sakit, tak perlu jauh-jauh berdiskusi masalah perekonomian, pariwisata, perdagangan, bahkan tentang sistem pemerintahan yang saya sendiri masih sangat awam. Kita lihat saja pendidikan di negara tercinta kita. Sudahkah saya melakukan tugas pokok dan fungsi saya dengan benar? Malu sekali jika sampai ada kalimat itu kembali lewat dipikiran. Apa yang sudah saya lakukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Bagaimana kelak ketika saya ditanya pertanggungjawaban oleh NYA? Ribuan tanda tanya jatuh dan menghujam nurani saya bersama derasnya hujan yang tetiba begitu derasnya. 

Sungguh bukan pekerjaan yang mudah menjadi pendidik. Sungguh bukan sebuah pekerjaan yang hanya datang, duduk, mengajar, dan pulang saja. Begitu berat kita bertanggungjawab secara moral terhadap pembentukan karakter mereka, anak didik kita. Jujur saja, dari ratusan siswa yang pernah saya hadapi, tak semua bisa tumbuh dan berkembang sesuai dengan harapan kita. Terlebih karakter mereka, yang kadang kita sendiri sangat sulit membentuk jati diri.

Hal sederhana saja. Pada momen kebangkitan nasional kali ini, saya sebagai seorang guru pesisir ingin melakukan sebuah perubahan. Tak perlu besar, tak perlu mewah, tak perlu pula banyak petuah. Cukup menjadikan mereka layaknya anak-anak, cukup jadikan mereka sebuah ladang bagi kita membentuk karakter yang saling menghargai sesama, saling menyayangi dan tentu saja tetap berlandaskan tujuan pendidikan yaitu menciptakan profil pelajar Pancasila. 

Yakinlah pada hari berbangkit kali ini kita bisa memulai kembali, hal-hal kecil yang selama ini sudah sangat baik kita lakukan. Menciptakan suasana belajar di sekolah yang kondusif, literat, dan tetap berkarakter kuat. 

Salam Bangkit dari Pesisir

20 Mei 2022

Triznie.kurniawan

Di Ujung Malam

Ketika tersentak dari lamunan malam ini, ujung kaki terasa kaku, badan terasa berat. Entah apa yang membuat hati ini terasa begitu sesak menahan sesuatu yang sebelumnya tak pernah terfikir di hati. Ya Allah… mengapa beban hidup serasa begitu berat dipundak ini? Ketika harus menjalani hari tanpa kehadiran orang yang dicintai. Kadang merasa sangat iri dengan orang-orang yang setiap hari bisa bertemu dan bersendagurau, bisa saling membantu dan melengkapi, bisa jadi teman sekaligus kekasih…

Jam dinding berdentang menunjukkan waktu sepertiga malam terakhir, kulangkahkan kaki walaupun berat menuju tempat mensucikan diri. Mata masih berkunang – kunang, ketika air itu membasuh wajah yang penuh dosa ini,,, serasa bergetar hati,,, tak ada lagi beban berat yang menumpuk tadi. Setelah mengadu dan bercerita kepada Dia, terasa ringan sekali… hati terasa ringan, entahlah kenapa aku merasa begitu bodoh menghadapi hidup. Padahal aku tahu, Dia tak akan pernah pergi meninggalkan aku, kecuali ketika aku menjauhinya maka Dia pun akan menjauhiku, sebaliknya ketika aku mendekat dan meratap…

Perbincangan dengan Pemilik hati sejenak menyirnakan beban beban yang tak seharusnya bersemayam di hati. Tiada yang lebih tahu dari Yang Maha Tahu tentang isi hati apa yang di dalam pikiran serta solusi pasti.

Pasar

Deru angkutan kota dalam provinsi kali ini terdengar merdu, entah apa karena hati sedang terbang ke awan, atau karena badan benar-benar tak ada yang dikeluhkan. Nadia sangat segar pagi ini setelah beberapa hari terbaring tak berdaya. Iya, Nadia masih beruntung bisa berangkat melukis masa depan bangsa pagi ini, setelah beberapa hari lalu hanya bisa terbujur kaku di pembaringan. Sawah yang mulai basah dan siap diolah tampak indah sepanjang jalan. Trotoar pagi ini sangat teduh dan bersih setelah dibelai mesra rintik semalam. Sederhana, namun penuh makna, begitu lah hujan menyuarakan kasih sayang pada bumi. Romantis, seperti mentari yang selalu hadir membersamai hari. 

Ah, tiba-tiba seorang renta menyetop angkutan dan dengan gemetar menginjakkan kakinya ke dalam. Sekeranjang buah sawo dan beberapa barang tertata rapi di pangkuannya. Nadia melirik dan mencoba mengamati wajahnya. Oh betapa beruntungnya Nadia karena masih diberi kesempatan menghirup udara pagi tanpa banyak beban, tak seperti yang tergambar oleh guratan pada wajah seorang yang kini duduk tepat di depannya. Berkali-kali dia mengingatkan kernet agar diturunkan di Pasar sebuah desa yang cukup ramai. “Tanah Merah yeh Nak, jek telambes leh yeh” (Tanah Merah ya Nak, jangan sampai kelewatan loh ya) ujarnya meyakinkan sopir dan asistennya. 

Sebuah pasar yang terkenal ramai dan selalu macet saat Melintasi ya sudah tampak riuh, pedagang buah berjejer di tepi Jalan raya, kendaraan memarkir sembarangan membuat semakin lambat saja perjalanan kali ini. Belum lagi para pedagang beras dan unggas yang tak pernah tahu kapan mereka bisa diatur dan ditata dengan rapi. Supir mulai melambatkan laju kendaraan dan si nenek diarahkan untuk turun karena sudah sampai pada pesanan tujuannya. Namun, si nenek tetap saja bergeming tak beranjak. Nadia menoleh dan mengamati kembali keadaannya, tak ada yang aneh beliau tampak sehat. Hanya saja tatapannya tampak kosong, dan berkata “Nak petoron sengkok ndek Galis yeh, jek kelopaeh leh yeh” (Nak, turunkan Saya di Galis ya, jangan lupa lo). Deg… semua penumpang kaget dan saling menatap, ada yang salah dengan si nenek. Setelah sampai Galis dia pun tak pernah mau diturunkan, dia selalu bilang akan turun di pasar berikutnya. Ternyata si nenek sudah lupa berasal dari mana dan mau kemana dirinya. Bersyukurlah ketika kita masih diberi kesehatan dan ingatan yang kuat hari Ini. 

Pentigraf biasa, terinspirasi dari kejadian nyata. 

Madura, 28 November 2020 

Genangan dan Kenangan

Tubuhku bergoyang ke kanan kemudian ke kiri. Perut rasanya sudah seperti di aduk-aduk tak terperi. Riuh suara mesin kendaraan yang aku naiki ini semakin membuat mata berkunang. Dengan menahan tangis, dari bangku paling belakang sebuah angkutan Kota dalam provinsi ini, aku terus mengalihkan perhatian. Aku buka slide kumpulan puisi Eyang Sapardi, aku buka lagi kumpulan cerpen Dee Lestari. Tetap saja perih ini terasa menggores-gores pertahanan dinding lambung yang semakin membatu. Belum lagi teriakan para pedagang yang berebut tempat untuk diangkat juga ke kota sebelah. Bau anyir ikan, daging, sedikit Bau bawang, dikombinasikan bau harum mangga yang semakin mengiris Luka di lambung kiri.

Alunan musik koplo yang sedari tadi terngiang ini membuat aku tersadar. Ya, aku sadar bahwa kini aku berada sedang menikmati perjalanan rutin ke Kota Santri. Ah, Kota Santri, tepatnya Kota kecil dengan sejuta kenangan kami. Musim hujan kali ini semakin banyak genangan yang berbanding lurus dengan kenangan. Asyik …. tarik sis. Haduh, sungguh perut Ini seolah dikocok dengan kecepatan penuh. Isinya hampir saja meluap. Untung saja sekelebat aku melihat genangan eh bukan, kenangan. Bayangan pria gagah nan memesona terlihat sedang menungguku di sana. Aku tersenyum sendiri membayangkan ingin segera menggenggam tangannya erat.

Menara sebuah masjid terkenal di Pasar Tanah Merah, yang biasanya tak pernah sepi, sudah tampak dari balik kaca jendela mini. Artinya perjalanan Ini sudah lebih dari setengahnya. Sudah tak bisa lagi kutahan, aku sudah tak kuasa menahan rindu. Rindu untuk menemuinya, untuk mengulang lagi kisah kami yang pernah tak terselesaikan. Sudah tak lagi kupikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Meski perih Ini terlanjur menggerogoti rasa bahagiaku, aku tetap lah aku dengan segala kenekatan aku berjalan kaki. Baru beberapa langkah aku menapaki genangan di Jalanan, tiba-tiba sepeda motor gagah lengkap dengan pangeran berhenti. Tanpa basa-basi aku segera naik dan mencium tangannya erat-erat yang kemudian melaju bak main game dalam PS3. Suara tak asing mengagetkanku hampir membuatku tersedak, “Wes wareg ndoro?” kata pangeran di seberang meja yang dari tadi mengobservasi caraku makan sepiring rujak Soto khas Bangkalan dan segelas es cincau. Ternyata aku kelaparan.

Terimakasih ayah🙏❤️ pangeran yang tak pernah membiarkanku kelaparan🤭

Pentigraf

Bangkalan, 2 November 2020

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai